Panggilan untuk melayan bagi Tuhan kenapa tidak!
Pernyataan ini terbesit dalam benak ketika memikirkan bagaimana memulai tulisan
ini sebagai tugas mata kuliah Spiritualitas Katekis. Banyak orang berpikir
bahwa menanggapi panggilan hidup untuk menjadi pelayan tuhan secara khusus
amatlah tidak mudah, terutama bagi Orang Muda Katolik (OMK). Semakin sedikit
OMK yang terpanggil untuk menjadi seorang biarawan biarawati (Pastor, Suster,
Frater, dan Bruder). Sehingga mempengaruhi jumlah para biarawan-biarawati,
tentu mempengaruhi keterjangkauan pelayanan bagi umat dalam hal iman.
Sembari merenung dan merefleksikan keadaan di
atas, patut disyukuri keterbukaan Gereja dengan menyatakan bahwa seluruh
anggota Gereja memiliki derajat yang sama, walaupun masing-masing anggota
Gereja memiliki fungsi yang khas pula. Kaum awam, yang tidak diperhitungkan
keberadaannya pada masa sebelum Konsili Vatikan II, disadari juga sangat
membantu perluasan hal yang disebut evangelisasi
baru. Dari tengah-tengah kaum awam itu, ada pula yang disebut Katekis. Mereka
merupakan sekelompok orang yang mengalami pendidikan khusus perihal iman
Katolik, dan tentu saja bertugas mewartakan iman.
Sejatinya, spiritualitas katekis adalah hidup
dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui katekis terus-menerus dalam
identitas khusus, dalam panggilan dan tugas perutusannya. Dengan bantuan dan
pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis mengalami suatu motivasi yang baru
dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup, Dengan demikian seorang
katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah katekismus.
Bunda Maria adalah teladan iman bagi semua orang. Sikap menyerah pada
penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Sikap yang
demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan
karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka. Oleh sebab itu,
spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri yang terbuka terhadap sabda Tuhan,
terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, serta bersemangat
misioner. “Maka menjadi seorang katekis adalah pilihan dan panggilan hidupku”.
Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan
Keuskupan Agung Samarinda
a.n Mahasiswa
Lorensius Amon
©Revisi
Bina Insan, Februari 2017
Bagian 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Kehidupan menggereja akan kokoh kuat jika iman umat juga
kuat. Iman tidak bertumbuh begitu saja namun dari sabda Allah yang menyentuh
setiap pribadi, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman
Kristus”. Maka Paulus juga mengatakan: “Celakalah aku, jika aku tidak
memberitakan injil!”. Karena itulah, maka katekese menjadi bagian penting
dan utama dari karya Gereja di tengah dunia. Hal ini juga ditegaskan dalam
Kitab Hukum Kanonik, Kan 747-§ 1, “Kepada
Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan
Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara
lebih mendalam, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai
tugas dan hak asli untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa.”
Gereja merupakan
Umat Allah yang saat ini sedang berziarah menuju kebahagiaan abadi bersama
Allah. Setiap anggota Gereja memiliki peranan masing-masing dalam kehidupannya.
Namun secara sederhana bahwa mereka merupakan umat yang dipanggil oleh Allah.
Panggilan mereka berdasar pada sakramen permandian dan penguatan yang
diterimanya. Dengan hal ini mereka dipanggil dan diutus untuk memberitakan
Kabar Keselamatan kepada semua orang. Yesus merupakan teladan bagi kita semua.
Selama kehidupan-Nya, Yesus telah mewartakan Karya Keselamatan. Yesus juga
memberi perutusan kepada kita untuk mewartakan Injil kepada semua orang sebelum
kenaikan-Nya ke surga. Perutusan inilah yang kemudian terus dihidupi oleh
Gereja sebagai penerus karya keselamatan dari Yesus.
Perintah yang
diberikan oleh Yesus membuat Gereja semakin menggiatkan dirinya untuk
memberitakan Karya Keselamatan. Secara langsung perutusan ini diterima oleh
semua anggota Gereja, pada intinya mengajak semua anggota Gereja untuk terlibat
aktif dalam mewartakan Kerajaan Allah, yang secara khusus diberikan kepada kaum
awam.
Juga Pada
dasarnya, katekese merupakan suatu tindakan eklesial. Subyek katekese yang
benar adalah Gereja. Gereja adalah seluruh umat beriman. Maka, katekese
merupakan tugas seluruh umat beriman. Penanggung jawab utamanya adalah Uskup
sebagai gembala di Keuskupannya, bahkan pewartaan adalah tugas utamanya. Para
imam ambil bagian dan membantu uskup dalam melaksanakan tugasnya itu. Dan
karena rahmat baptisan yang mengaruniakan tri-tugas Kristus (memimpin,
menguduskan dan mewartakan), maka kaum awam pun ikut ambil bagian dalam tugas
pelayanan katekese.
Dalam keterlibatan
ini, para katekis merupakan salah satu aktor penting dalam karya katekese.
Memang, setiap orang beriman bertanggung jawab atas tugas pewartaan. Namun
secara konkret patut diakui bahwa dalam tangan para katekislah proses katekese
dilaksanakan. Oleh karena itu, diperlukan katekis-katekis yang handal yang
tidak hanya memahami isi iman Kristiani, tetapi juga mampu mengembangkan
pola-pola yang katekese yang tepat sehingga isi pewartaan sungguh sampai pada
umat dan menggerakkan umat untuk hidup seturut nilai-nilai Injil. Untuk itu,
perlu selalu ada pembinaan berkelanjutan bagi para katekis. Dalam pelaksanaan
tugasnya, perlu juga jalinan kerja sama para katekis dengan hirarki (pastor
paroki) dan segenap umat beriman.
Bagian 2
Spiritualitas Seorang
Katekis
A.
Spiritualitas Seorang Katekis
Spiritualitas seorang katekis bersumber pada katekis
ulung dan sejati kita yakni Yesus Kristus. Dalam Guru sejati, sang gembala
agung yang mengajar dengan sempurna baik perkataan maupun perbuatan kepada
umat-Nya.
Kesetiaan Terhadap Sabda Allah
Kristus
menyerahkan diri kepada para rasul (Gereja) misi untuk mewartakan Kabar Baik
kepada semua bangsa. Pewartaan kabar baik kepada semua bangsa dengan
menyalurkan iman, menyingkapkan dan mengalami panggilan kristiani. Supaya
pelayanan Sabda sungguh kena sasaran, katekis hendaknya menyadari konteks
kehidupan umat dan kesaksian hidupnya.
Hendaklah katekis memperhatikan pewartaan eksplisit
misteri Kristus kepada umat beriman, kepada mereka yang tidak percaya dan bukan
kristiani. Kesadaran mutlak perlu bertumpu pada Sabda Allah dan tetap setia
terhadap Sabda Allah, tradisi Gereja untuk menjadi murid-murid Kristus yang
sejati dan mengenal kebenaran (bdk. Yoh 8:31-32).
Sabda dan Kehidupan
Kesadaran akan
misinya sendiri untuk mewartakan Injil selalu harus diungkapkan secara konkret
dalam hidup berpastoral bagi seorang katekis. Pelbagai situasi kehidupan
berparoki sebagai tempat pelayanan dilaksanakan akan hidup dalam terang Sabda
Allah. Semangat hidup itu didorong oleh Rasul Paulus yang berseru: “Celakalah
aku kalau tidak mewartakan Injil” (1Kor 9:16), para katekis hendaknya tahu
bagaimana memanfaatkan seluruh sarana dan media komunikasi untuk mewartakan
Sabda Allah. Pewartaan Sabda Allah begitu mendesak karena masih begitu banyak
orang belum mengenal Kristus. Hal itu mencerminkan seruan Paulus: “Bagaimana
mereka dapat percaya akan Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia?
Bagaimana mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? (Rom
10:4).
Sabda dan Katekese
Katekese memainkan
peranan penting sekali dalam misi pewartaan Injil, upaya yang utama unutk
mengajarkan dan mengembangkan iman (bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik;
“Catechesi Trandendae” tgl. 16 Oktober 1979, AAS, 71, 1979). Para katekis termasuk
di dalamnya Imam (katekis) rekan kerja uskup hendaknya berkoordinasi dan
membimbing kegiatan katekese jemaat yang dipercayakan kepadanya.
B.
Aplikasi Bagi Seorang Katekis Setelah
Menimba Spiritualitas Katekis
Setelah mengetahui tentang tugas dan peran awam dalam merasul, terutama
seorang katekis. Pertama mengenai tantangan yang harus dihadapi oleh katekis
dalam tugas pewartaannya. Memang benar bahwa zaman yang semakin maju ini
membuat peran katekis semakin diharapkan. Tantangan dari luar itu membuat katekis
harus selalu berpikir tentang metode yang harus dilakukan dalam katekesenya.
Katekis juga harus semakin jeli dalam melihat subjek yang akan dilayani, agar
apa yang diberikan dapat sungguh-sungguh mengena dan dapat diterima. Katekis
juga harus tanggap dengan kondisi di lingkungannya, dan mampu memberikan solusi
atas masalah yang dihadapi. Mengingat tantangan yang harus dihadapi begitu
besar maka katekis juga harus cakap dalam pengetahuan, terutama bidang-bidang
pengajaran agar apa yang akan diajarkan tidak menimbulkan kesesatan.
Berpartisipasi dalam kehidupan Menggereja
Kita terpanggil untuk hidup beribdah
bersama serta menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Tidak
boleh dilupakan adalah sikap ketaatan kepada Gereja, artinya ketaatan kepada
imam/gembala, dengan semangat iman, seperti yang ditunjukkan oleh Kristus yang,
“mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba… dan taat sampai mati
(lih. Flp 2:7-8;lih. Ibr 5:8; Rm 5:19). Ketaatan diikuti oleh tanggung jawab,
sebab katekis dalam pelayanan dipanggil untuk menanggapi rahmat Roh Kudus yang
mempersatukan. Maka kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain di berbagai
tingkatan, dalam kesatuan, adalah sangat penting.
Berpartisipasi dalam kehidupan Masyarakat
Seorang katekis tidak dapat hidup
sendiri tanpa orang lain, seorang katekis harus hidup bersama dengan orang
lain, khususnya dalam lingkup masyarakat. Seorang katekis harus dapat
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat serta mampu menjadi teladan dan saksi
Kristus bagi sesama.
Setia pada panggilanku
Panggilan sebagai seorang katekis
adalah panggilan dari Roh Kudus yang kita terima dalam sakramen Baptis dan
Krisma. Atas panggilan ini umat beriman dapat terpanggil untuk turut membangun
Gereja dan melibatkan diri dalam kegiatan misi. Karya para katekis melibatkan
keseluruhan diri. Sebelum mengajarkan
Sabda Allah, harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya.
Kebenaran hidup meneguhkan pesan yang diajarkan. Adalah sesuatu yang
menyedihkan, jika katekis tidak melaksanakan dan mewartakan Tuhan yang
diketahui secara teoritis, panggilannya.
Menjadi mudir Kristus yang sejati
Paus Yohanes Paulus dalam surat
Ensikliknya, Redemptoris
Missio, menyebutkan bahwa “para katekis adalah “para pekerja yang khusus,
para saksi iman yang langsung, para evangelis yang tak tergantikan, yang
mewakili kekuatan dasar komunitas Kristiani” Kitab Hukum Kanonik menyebutkan
bahwa para katekis adalah “anggota umat beriman yang telah menerima formasi
yang layak, dan teladan dalam hal menghidupi kehidupan Kristiani. Di bawah
arahan para misionaris, mereka menghadirkan Injil dan terlibat dalam
penyembahan liturgi dan karya belas kasih.
Menjiwai spiritualitas katekis
Para katekis diharapkan juga untuk mempunyai
semangat misioner untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang belum
mengenal-Nya. Dengan demikian mereka menjadi perpanjangan tangan Kristus yang
berkehendak menjangkau mereka ke dalam kawanan domba-Nya (lih. Yoh 10:16); dan
dengan demikian melaksanakan kehendak Yesus agar Injil diwartakan kepada
segenap makhluk (lih. Mrk 16:15). Para katekis diundang untuk mempunyai
semangat seperti Rasul Petrus dan Paulus, yang tak dapat berbuat lain kecuali
mewartakan Kristus (lih. Kis 4:20), sebab “kasih-Nya menguasai kami” (2 Kor
5:14). Maka para katekis harus mempunyai semangat misionaris yang tinggi, yaitu
semangat yang lebih efektif jika mereka yakin tentang apa yang mereka wartakan,
mereka antusias dan berani, tanpa malu mewartakan Injil (lih. Rm 1:16). Sebab
dari pengenalan akan Kristus muncullah hasrat untuk mewartakan Dia, agar
semakin banyak orang menerima Kristus dan mengimani-Nya.
Para katekis dipanggil untuk
menjadi gembala yang mencari dombanya yang sesat sampai menemukannya (lih. Luk
15:4), atau seorang wanita yang mencari koinnya yang hilang sampai menemukannya
kembali (Luk 15:8). Atau seperti Rasul Paulus, mau mengusahakan berbagai cara
untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus (lih. 1Kor 9:22-23; 2Kor 12:15), dan
menganggap bahwa pewartaan Injil merupakan suatu keharusan (lih. 2Kor 9:16).
Bagian 3
Uraian tentang Spiritulitas Seorang Katekis
A.
Apa Sebenarnya Spiritualitas Seorang
Katekis
Spiritualitas Katekis berdasarkan pada iman akan
Yesus Kristus dan Roh Kudus. Katekis perlu terbuka terhadap Sabda Tuhan, mempunyai
keutuhan dan keaslian hidup, bersemangat missioner dan berdevosi kepada Bunda
Maria.
Yesus Kristus
Hidup, tindakan dan karya Yesus Kristus menjadi
contoh untuk seorang katekis. Yesus juga bisa disebut sebagai katekis karena
telah mengajar orang banyak dan para murid menyebut-Nya sebagai guru. Hendaknya
spiritualitas Yesus Kristus menjadi gaya hidup seorang katekis. Pertama seorang
katekis sebelum mewartakan kerajaan Allah harus mengenal Yesus secara pribadi
dan mendalam, karena pewartaan seorang katekis adalah Yesus itu sendiri. Kedua
seorang katekis dalam tugasnya harus mencontoh karekter Yesus dalam mewartakan
kerajaan Allah seperti melayani dan mengasihi. Intinya belajar dari hidup Yesus
Kristus.
Hidup dalam Roh Kudus
Yesus wafat di kayu salib dan bangkit dari
kematian bersama dengan Allah di surga mengutus Roh Kudus untuk tinggal dan
diam dalam diri para murid. Para murid melanjutkan tugas perutusan Yesus
untuk mewartakan kabar baik dibantu oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Allah
sendiri. Oleh sebab itu, seorang katekis yang mewartakan kabar baik
hendaknya mempunyai kekuatan dari Roh Kudus.
Seorang katekis harus hidup
dalam Roh Kudus yang akan membantunya memperkembangkan dan memperbaharui diri
secara terus-menerus dalam panggilan dan tugas perutusannya sebagai katekis.
Dengan bantuan dari Roh Kudus, seorang katekis akan mengalami suatu motivasi
yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup (Komkat KWI, 1997:
22).
Terbuka terhadap
Sabda Tuhan
Keterbukaan terhadap Sabda
Tuhan berarti terbuka terhadap Tuhan, Gereja dan dunia. Terbuka terhadap Tuhan
berarti seorang katekis membuka hati, menerima sabda Tuhan dan mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas katekis berakar dari Sabda Tuhan
dengan suatu dimensi Tritunggal; Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Keterbukaan terhadap Gereja
berarti mencintai, mengabdi, melayani, mengembangkan bahkan bersedia menderita
demi Gereja. Keterbukaan ini terungkap dalam keterikatan dan ketaatan terhadap
Paus, pusat persatuan dan persekutuan universal. Sedangkan keterbukaan terhadap
dunia adalah peka terhadap kebutuhan dunia, terlibat dalam kehidupan
masyarakat, terbuka terhadap perkembangan jaman, teknologi dan komunikasi
(Komkat KWI, 1997: 23-25).
Keutuhan dan
Keaslian Hidup
Seorang katekis sebelum
mewartakan sabda harus menjadikan dan menghayati sabda itu sebagai miliknya.
Apa yang diajarkan oleh katekis bukan semata-mata ilmu atau teori belaka
melainkan iman yang dihidupinya dan dipraktekkan secara nyata dalam hidup
sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan keutuhan dan keaslian hidup. Seorang
katekis hidup dalam doa, peka terhadap pengalaman akan Tuhan, setia terhadap
tindakan Roh kudus dan keteraturan antara batin-lahir (Komkat KWI, 1997:
26).
Semangat Missioner
Seorang katekis dalam tugas
perutusan-Nya mewartakan kerajaan Allah dan Injil (Mrk 16:15) serta membimbing
dan menuntun sesamanya agar mengenal Injil tersebut. Seorang katekis harus
mempunyai semangat kerasulan yang tinggi berani dan semangat mewartakan Injil
walaupun resikonya ditolak dan tidak didengarkan. Walaupun demikian seorang
katekis mempunyai keyakinan bahwa Kristus yang diwartakan selalu menyertainya.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci pekerja sedikit dan tuaian banyak,
katekis menjalankan tugas Allahlah yang bertanggungjawab atas hasil yang
dijalankan pekerja-Nya (Komkat KWI, 1997: 27-28).
Bunda Maria
Bunda Maria adalah teladan
iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan Ilahi menuntunnya pada misteri
penyelamatan. Seperti yang terdapat dalam Lukas 1:38 "Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Sikap seperti
Maria itulah yang hendaknya merasuki semangat kerasulan seorang katekis,
yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka.
Spiritualitas
katekis yang terlibat dalam tugas kerasulan akan diperkaya bila berdevosi
kepada Bunda Maria. Bunda Maria adalah seorang yang hidupnya suci, tulus,
sederhana dan pasrah kepada Allah. Bunda Maria adalah ibu dari Yesus Kristus
yang diwartakan oleh seorang katekis. Dalam perjalanan di kayu salib Bunda
Maria setia menemani Yesus, Bunda Maria pula yang menguatkan Yesus (Komkat
KWI,1997: 29).
Spiritualitas Kemuridan, Spiritualitas
Keterpanggilan.
Spiritualitas katekis harus bersumber pada spiritualitas kemuridan Yesus Kristus,
yang mewartakan Kerajaan Allah. Dengan kata lain, spiritualitas kedekatan dan
keterlibatan kepada Allah dan keselamatan manusia. Ciri-ciri spiritualitas
kemuridan dan keterpanggilan seperti yang dilukiskan dalam Kitab Suci antara
lain:
·
Mengikuti panggilan Yesus, datang kepada Dia
yang memanggil untuk tinggal bersama Dia (Yoh. 1:39), belajar dari Dia dan
berubah menjadi seperti Dia.
·
Meninggalkan banyak hal (mungkin orang-orang
kesayangan, tempat, peluang, kesenangan) supaya utuh mengikuti Dia (1Raj
19:19-21; Mrk 1:16-20).
·
Siap diutus untuk mewartakan kabar baik
Kerajaan Allah.
·
Menyadari dan menerima salib (tantangan dan
penderitaan) sebagai bagian dari hidup seorang murid.
Katekis Adalah Murid Yesus Kristus, Guru Dan Tuhan
Semua orang yang
telah menerima sakramen baptis berjumpa dengan Tuhan menurut karunia dan
kedudukannya di tengah umat. Demikian
pula seorang katekis berjumpa dengan Yesus sebagai Guru dan Tuhan melalui
panggilan dan pelayanannya. Kitab Suci menulis bahwa para murid Yesus biasanya
memanggil Dia Rabbi = Guru (Mrk 9:5; 11:21; Yoh 1:49; 8:2; 4:31). (Istilah
“Guru” di sini mempunyai arti yang lebih dalam dan agung daripada istilah guru
yang biasa kita pakai sehari-hari). Sebutan atau panggilan tersebut harus
diartikan sebagai kata yang menunjukkan rasa kekeluargaan yang akrab, rasa
persatuan dan kerelaan yang melayani sesama.
Yesus bukan hanya dapat dipercayai sebagai Guru, akan
tetapi juga Tuhan yang mahatahu. Kita semua harus mempunyai gambaran yang tepat
tentang Yesus sebagai guru itu. Para murid-Nya bukan memandang Yesus dari
Nazareth itu hanya sebagai GURU tetapi juga sebagai “Seorang yang datang atas
nama Bapa di surga, yang memanggil mereka untuk hidup seperti Dia sendiri (Yoh
1:39) dan mengikuti-Nya (Mat 4:20; 8:10)”. Hubungan dengan Kristus adalah
sumber pengembangan hidup rohani seorang katekis sebab ia dipanggil dan diutus
sebagai murid dan rasul Yesus sekaligus sebagai pendengar Sabda, pewarta Sabda
dan Pengikut Yesus.
Yesus adalah Guru yang Memanggil
Seperti semua
murid Yesus, seorang katekis dipanggil oleh Guru. Ini merupakan karunia dan
rahmat Roh Kudus. Panggilan ini menjadi nyata sejak dalam baptis Sakramen
Krisma dan Sakramen Perkawinan dan secara resmi pada waktu diutus oleh Gembala
umat (missio canonica) untuk berjuang bagi Gereja. Melalui panggilannya seorang katekis menerima rahmat yang
dibutuhkan untuk melayani umat, karena itu ia perlu senantiasa menyadari bahwa
ia dipanggil bukan karena jasa atau karena sifat-sifatnya yang baik, tetapi
karena Yesus mau dan secara bebas memilih dan mengutusnya. Pilihan inilah yang
merupakan karunia dan rahmat, sumber persatuan dengan Bapa di surga.
Pilihan itu merupakan panggilan secara bebas, dapat kita
temui dalam Injil dan dalam cara Yesus memanggil murid-muridNya. Sebagai Rabbi atau Guru, Yesus tidak menunggu
siapa yang mengikuti Dia, akan tetapi memanggil mereka satu demi satu; sebab
bagi Yesus memilih dan memanggil berarti memberikan karunia persatuan dengan
Diri-Nya sendiri, dengan Sabda-Nya, dengan Hati-Nya dan dengan Rahmat-Nya. Oleh
karena itu seorang katekis yang menjawab panggilan Yesus berarti mengenal
Guru-Nya, mengikuti Dia, dan menerima Dia sebagai pusat hidup untuk melayani
Sabda-Nya dan untuk menyampaikan Cinta-Nya kepada Bapa dan sesama. Hidup rohani
seorang katekis bersumber dari kesadaran bahwa panggilan dari Kristus sendiri
merupakan karunia dan rahmat yang membuat dia menjadi pelayan Sabda.
Setiap kali seorang katekis berkumpul bersama-sama dengan
saudaranya seiman, pertemuan atau kebersamaan itu merupakan kesempatan yang
menggugahnya agar:
· Ia semakin merasakan bahwa tiap kali ia
dipanggil oleh Yesus untuk melaayani sesamanya;
· Ia semakin menyadari kepercayaan yang
diberikan Yesus kepadanya;
· Ia menyadari bahwa rahmat Tuhan dan
karunia Roh Kudus yang diterimanya adalah suatu tanggung jawab daripada
perutusannya sehingga karenanya ia selalu merasa ‘berhutang’ kepada Roh yang
mengutusnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang pelayan Sabda
(katekis) perlu memperhatikan bukan hanya apa yang harus dibuatnya tetapi juga
bagaimana membina hubungan yang erat dengan Guru dan Tuhan sebagai Pusat Hidup
dan pelayanannya.
Katekis adalah Murid Yesus
Menerima panggilan
sebagai katekis berarti menjadi murid Yesus, sebab ia harus mengikuti Yesus dan
hidup bersama Dia. Sebab tiap katekis yang menanggapi panggilannya sebagai
rahmat dan karunia dari Tuhan kemudian menerimanya secara pasrah dan setia
kepada Roh-Nya, akan sanggup menjadikan panggilannya itu sebagai rahmat bagi
sesamanya. “Menjadi murid” adalah peran daripada semua orang yang telah
menerima Permandian, tetapi pada seorang katekis, peran ini lebih nyata dan
lebih nyata, karena hubungannya dengan Guru melalui pelayanan Sabda.
Kepercayaan sebagai utusan Sabda, menyatakan bahwa:
a)
Seorang katekis
mengakui Yesus sebagai satu-satunya Guru yang benar. Dari cara dan gaya hidup
serta kegembiraan seorang katekis bukan saja dari bakat atau
pengetahuannya nampak pengakuan dan
imannya akan Yesus sebagai satu-satunya Guru yang benar.
b)
Seorang katekis
termasuk dalam golongan murid Yesus yang hidup bersama Dia sebagai sahabat
melalui doa-doanya, sebab dengan doa ia semakin mengenal Yesus. Hanya orang
yang hidup bersatu dengan Yesus, yang telah berjumpa dengan Yesus yang pantas
menjadi Pelayan Sabda. Kehidupan di dalam Yesus dan perjumpaan dengan Yesus ini
merupakan karunia dan rahmat juga. Yesus sendiri mengatakan bahwa kepada
murid-Nya telah diberikan karunia untuk mengetahui Kerajaan Surga (Mat 13:11).
c)
Seorang katekis
menampakkan (menyaksikan) Sabda Gurunya serta melanjutkan karya Gurunya dengan
pelayanan-pelayanannya. Singkatnya, hidup seperti murid Yesus dan mengikuti Dia
berarti berkembang terus-menerus dalam persatuannya dengan Yesus sebagai dasar
hidupnya sekaligus memantulkan (menampakkan, menyaksikan) Sabda Yesus dalam
seluruh pelayanannya.
Katekis Diutus Sebagai Hamba
Yesus Kristus
adalah Guru yang berwibawa dan berkuasa. Kekuasaan itu diterima-Nya dari
Bapa-Nya. Hal itu memang mengherankan dan mengagumkan para pendengar-Nya (Mrk
1:27; Luk 4:36). Para murid sangat terharu melihat-Nya dan mengikuti-Nya dalam
hal melayani sesama (Mat 10: 24-25). Mereka mendekati dan mengenal serta
belajar melayani seperti Yesus. Sebab untuk melayani Sabda dengan sempurna,
seorang katekis perlu “mendidik” (menganggap) dirinya sebagai sebagai seorang
hamba, yakni memiliki jiwa yang mau melayani.
Seorang katekis adalah seorang hamba Gereja, hamba Yesus
dan hamba Allah yang melayani Gurunya dalam kesungguhan dan kerendahan hati
ketika menyampaikan Sabda kepada sesamanya. Oleh karenanya, ia tidak menamakan
dirinya ‘Guru’ sebab hanya ada satu Guru sedangkan yang lain adalah
saudara-saudara (Mat 23: 8). Seorang katekis adalah orang yang senantiasa
gembira dalam pewartaan Sabda sebab ia mewartakan Kabar Gembira Keselamatan
serta berita gembira Cinta Sang Gurunya. Kegembiraan ini membuat dia tidak lagi
menginginkan hal lain, kecuali pewartaan. Kegembiraan inilah yang tidak
mengarahkan seluruh usahanya kepada sukses dan kesibukan tetapi pada kerelaan
sebagai hamba.
Katekis yang berusaha hidup dalam semangat dan kerelaan
sebagai hamba, pasti akan menyadari dirinya sebagai hamba yang tak berguna
yakni kesadaran bahwa Tuhan sebenarnya tidak memerlukan dia dan dia hanyalah
seorang pelayan “yang menyiapkan hati orang” agar mengenal, menerima dan
mencintai Yesus sepanjang hidupnya. Hanya dengan hidup sebagai hamba, kita
dapat menyampaikan misteri Agung Allah melalui kata-kata dan tindakan yang
sederhana namun bersifat illahi. Hamba yang sesudah melaksanakan semua yang diwajibkan
kepadanya berani mengatakan bahwa ia adalah hamba yang tak berharga, yang hanya
melaksanakan kewajibannya (Luk 17: 10).
Pelayan untuk Perkembangan Kerajaan Allah
Dorongan untuk
pergi menyampaikan Kabar Gembira, lahir karena hidup yang bersatu dengan Yesus
dan menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan. Murid-murid Yesus telah diutus
untuk memaklumkan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan sudah ada, yaitu di
dalam hati si pewarta dan para pendengar (Luk 9: 3).
Seorang katekis harus memaklumkan dan menyaksikan
pengalaman persatuan dengan Gurunya (suasana Kerajaan Allah) mulai dari diri
dan hidupnya sendiri. Ajaran-ajarannya hendaknya merupakan
kebenaran-kebenaran yang dialami dan
dihayatinya sendiri sehingga mampu mendorong pendengarnya untuk menyadari
kehadiran Tuhan yang bangkit, hidup dan berkarya dalam hidup mereka
sehari-hari. Dengan cara-cara inilah para katekis melayani Kerajaan Allah
secara sungguh-sungguh serta memperbanyak para pengikut-Nya yakni mereka yang
memilih Tuhan sebagai Gurunya.
Pemikiran-pemikiran di atas ini sangat menggarisbawahi
tugas utama perutusan seorang katekis, yakni untuk:
a.
membuat segala
bangsa menjadi murid-Nya (Mat 28: 19-20);
b.
mewartakan
Kerajaan Allah dan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Yesus (Mat
28:19-20);
c.
menyampaikan Kabar
gembira lebih-lebih kepada orang-orang kecil, bukan saja kepada yang berilmu
atau pandai (Mat 11: 25-26). Singkatnya, keseluruhan hidup dan pelayanan
seorang katekis adalah kesempatan untuk terus-menerus menyadari dan membarui
pribadinya sebagai murid dan hamba yang mengenal, mengakui dan bersatu dengan
Yesus sebagai Guru, Tuhan serta Sumber atau Pusat hidupnya.
B.
Hubungan Seorang Katekis dengan Sabda
Katekis adalah Gema Guru yang Berbicara
Sebagaimana gema adalah suara yang sampai kepada kita
meskipun sumber suara itu jauh, demikian halnya dengan Sabda Tuhan; sebab
selain pengetahuan, kejadian, pengalaman tokoh-tokoh Injil dan riwayat Yesus
kita juga menerima Kabar/Ajaran Yesus Sang Guru yang disampaikan melalui Roh
Kudus. Ini merupakan sesuatu yang penting bagi kita (katekis) sekarang ini
karena apabila kita membaca Kitab Suci, kita mendengar Roh Kudus (St.
Ambrosius).
Pada waktu membaca Kitab Suci, seorang
katekis berjumpa bukan dengan isi, melainkan dengan Tuhan sendiri yang mau berbicara
kepadanya, yang memanggilnya dan yang mau mengadakan hubungan yang erat
dengannya. Seseorang yang dalam kesadaran demikian membaca Kitab Suci, ia
merasa diikutsertakan dalam peristiwa-peristiwa Kitab Suci, sehingga menjadi
suatu pengalaman dan pelajaran yang langsung diterimanya dari Sabda. Kemudian
pengalaman dan pelajaran itu menjadi Kabar Gembira yang penuh cinta dan
harapan, dan dengan demikian lahirlah persatuan hidup dengan Yesus Sang Guru.
Suaranya kadang-kadang berupa teguran, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya
hatimu sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para
nabi” (Luk 24: 25); suaranya penuh cinta atau hiburan, “Kepadamu diberikan
kurnia untuk mengetahui Kerajaan Surga” (Mat 13: 11).
Hanya seorang katekis yang menerima,
mendengar, mendalami dan hidup sesuai dengan Sabda Tuhan yang dapat menjadikan
dirinya sendiri sebagai gema yang mengundang, yang menyaksikan dan yang
memanggil sesamanya untuk mengikuti Sang Guru melalui pewartaannya.
Katekis adalah
Suara Roh Kudus
Suatu kerasulan yang tidak mendapat
titik awalnya dalam Roh Kudus adalah kerasulan yang mandul. Kerasulan yang
demikian hanya diperoleh sebagai kurunia Roh Kudus yang masa kini dapat ditemui
da dialami dalam pelbagai bentuk maupun cara hidup manusia atau pun situasi
konkret. Kitab Suci ditulis dengan perantaraan wahyu Roh Kudus, karena itu
harus dibaca dan dimengerti dengan perantaraan Roh Kudus, sehingga kita dapat
berjumpa dengan Kristus dalam arti Kitab Suci dengan matanya sendiri tanpa
bantuan terang Roh Kudus mempunyai resiko yang besar yakni bahwa penafsirannya
akan jauh sekali dari kehendak Tuhan.
Untuk menghindari
hal seperti ini, penting sekali seorang katekis menuntun dirinya untuk hidup di
dalam Roh Kebenaran yang menyemangati dan membuka hatinya terhadap arti Sabda
yang sebenarnya. Ia perlu berdoa terlebih dahulu, sebelum membaca Kitab Suci
memohonkan rahmat Roh Kudus, Roh pengetahuan supaya hatinya terbuka,
mendengarkan Sabda Tuhan. Dalam hal ini
pengalaman dan doa Salomon merupakan contoh bagi setiap katekis, “Berikanlah
kepada hambamu hati yang terbuka untuk mengerti Sabda-Mu” (Raj 3: 9), karena
Tuhan membuka hati kita, maka kita dapat memperhatikan apa yang dimaksud dalam
Sabda-Nya. “Rahasia Agung Kuasa Tuhan yang membuka mulutku dan hatimu agar saya
menyampaikan kebenaran yang telah saya terima dan kamu sekalian mengerti
untungnya bagimu dengan menerima kebenaran itu”, kata St. Agustinus.
Pengetahuan
tentang latar belakang Kitab Suci, sejarah bangsa terpilih memang membantu
seorang katekis untuk mengerti arti/inti dari Kitab Suci, namun yang terpenting
ialah keterbukaan hati kepada Roh Kudus. Doa pemazmur, “Bersihkanlah hatiku dan
mulutku ya Tuhan, supaya aku bisa mewartakan Sabda-Mu dengan wajar”, kiranya
merupakan doa seorang katekis sebelum mewartakan Sabda Tuhan.
Katekis adalah
Gema Umat Kristiani
Gema Sabda menjadi benar, yakni utuh,
padat dan kaya artinya apabila katekis mendengarkan dan merenungkannya baik
secara pribadi maupun secara bersama-sama dengan umatnya. Roh Kudus selalu
berbicara melalui Gereja-Nya, sedangkan perayaan liturgi merupakan saat atau
tempat khusus di mana Sabda berbicara kepada Gereja, maka berkumpul
bersama-sama dengan semua orang yang mempunyai tanggung jawab pewartaan adalah
sangat penting bagi seorang katekis. Selain itu, para katekis yang berkumpul
untuk mendengar dan mempelajari Sabda dengan bimbingan Pastor mengungkapkan
tanda nyata persatuan Gereja. Dengan saling menyampaikan dan membicarakan arti
Sabda, seorang katekis diperkaya dan menerima kurUnia kebenaran yang
menolongnya semakin memperkuat imannya.
Dengan membaca
Kitab Suci, seseorang akan mengerti cinta kasih Allah tetapi juga semakin
memperluas keterbukaan kita kepada Gereja/Umat Allah seluruhnya. Dalam membaca
Kitab Suci, seseorang mengalami sendiri kemudian meluas kepada sesama dan
akhirnya kelak mempersatukan dan memperkembangkan Gereja/Umat Allah.
Seorang Katekis
adalah Gema Doa
Melalui “Sabda”, seorang katekis
mengadakan hubungan pribadi yang erat dan nyata sekaligus menggugah bertumbuhnya
kecenderungan untuk berdoa dengan Tuhan. Dialog tersebutlah yang memberikan
kepadanya kemampuan untuk mengerti inti Sabda. Hal ini dapat dicapai apabila
seorang katekis membiasakan diri dengan suasana hening, suka merenungkan
rahasia cinta kasih Tuhan, merasa yakin atas terbatasnya kemampuannya,
memperkaya diri dengan bacaAn-bacaan rohani, ikut serta dalam
penataran/pertemuan/ceramah pendalaman hidup rohani, mengatur acara kerja atau
program kerjanya secara jelas dan tetap.
Justru melalui doa
dan refleksi-refleksi rohani, seorang katekis tidak takut memohon rahmat Tuhan
setelah mengakui kelemahannya sendiri lalu suka bersyukur karena telah
mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk mengabdi kepada Sabda-Nya. Melalui pemeliharaan doa-doa pribadi yang
terus menerus, ia akan menimba semangat hidup yang kemudian ditularkannya
kepada orang lain. Oleh doa-doanya kepada Roh Kukus, budi dan hatinya
diterangi, sehingga ia memperoleh pengertian tentang Sabda. Di dalam
doa-doanya, ia menemukan kehendak Tuhan atas dirinya dan atas pelayanannya
kepada orang lain. Ia harus selalu memohon kepada Tuhan supaya diberikan
petunjuk untuk dapat menyentuh hati manusia, demikian St. Agustinus. Seorang
katekis dikatakan berhasil apabila dia memperhatikan doa lebih daripada kepandaian
berbicara yang dimilikinya. Dia adalah seorang yang mempunyai semangat berdoa
dan bukan semangat berbicara, demikian lebih lanjut dikatakan oleh Santo
Agustinus.
Pelayanan seorang
katekis adalah saat dan tempat di mana dia menerima kesempatan untuk memperkuat
hubungannya dengan Tuhan di mana doa menjadi kegembiraan. Ia dihibur dalam
doanya ketika ia mengalami penderitaan karena Sabda ditolak oleh orang yang
dilayaninya. Dengan doa ia dikuatkan dan didorong ketika menghadapi kesulitan
dan keraguan. Hidup rohaninya menjadi sebuah latihan yang terus menerus
mendekatkan dirinya kepada Sabda yang menggembirakan. Semangat dan kebiasaan
doanya akan meneguhkan dia ketika ia gelisah dan sulit menemukan kehendak Allah
yang harus disampaikan kepada sesamanya. Dengan doa, seorang katekis menerima
terang Roh Kudus yang menyanggupkan dia dalam karya pewartaan Sabda Tuhan yang
sebenar-benarnya.
C.
Empat Pandangan Tentang Spiritualitas
Seorang Katekis
Menurut Para Ahli
Robert Webber: Spiritualitas dapat didefinisikan
sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa
karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara surga, dan surgalah yang
menjadi tujuan hidup kita di dunia. Menerima panggilan sebagai katekis berarti
menjadi murid Yesus, sebab ia harus mengikuti Yesus dan hidup bersama Dia.
Sebab tiap katekis yang menanggapi panggilannya sebagai rahmat dan karunia dari
Tuhan kemudian menerimanya secara pasrah dan setia kepada Roh-Nya, akan sanggup
menjadikan panggilannya itu sebagai rahmat bagi sesamanya. “Menjadi murid”
adalah peran daripada semua orang yang telah menerima Permandian, tetapi pada
seorang katekis, peran ini lebih nyata dan lebih nyata, karena hubungannya
dengan Guru melalui pelayanan Sabda.
Hans Urs Balthasar: Spiritualitas berarti sikap dasar
praktis atau eksistensial manusia yang merupakan konsekuensi dari cara
bagaimana ia mengerti eksistensi keagamaannya. Dalam eksistensi itu, ia
bertindak atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan
pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah. Definisi ini
menekankan bahwa spiritualitas berkaitan dengan sikap dasar manusia, entah
individu entah kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh
sistem nilai mutlak agama yang dianut. Dalam perkembangan selanjutnya definisi
ini tidak hanya terbatas pada hidup batin, melainkan keseluruhan tingkah laku
manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Spiritualitas merangkum apa yang
terdapat dalam budi manusia, bagaimana itu dipikirkan dan bentuk
pengungkapannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu dilandasi dan
berorientasi kepada yang Transenden, yang oleh manusia disadari memanggilnya
secara total dan tanpa syarat.
Spiritualitas dalam pandangan Gereja
berarti corak hidup manusia yang digerakkan oleh Roh Allah. Manusia membangun
hidupnya yang berhadapan dengan pengalaman akan Allah. Pengalaman manusia
menyangkut hidup seluruhnya dan berarti, termasuk terbuka pada Allah, dirinya
sendiri, sesama dan dunia sekitar. Memberi arti kepada hidup berarti membangun
pengharapan akan kualitas hidup krstiani dengan menjadikan Yesus Kristus
sebagai pedoman dan pola hidup (bdk. Ibr 11:1). Maka secara sederhana,
Spiritualitas dapat diartikan sebagai:
§ Hubungan pribadi seorang beriman dengan
Allah dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan.
§ Hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus
dengan mengembangkan iman, harapan, dan cinta kasih.
§ Usaha mengintegrasikan segala segi
kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus
Kristus.
§ Pengalaman iman Kristiani dalam situasi
konkret.
Setiap definisi itu hanya mau
menekankan salah satu dimensi dari pengertian spiritualitas. Sumber dan ukuran
spiritualitas manapun adalah kehidupan Yesus Kristus. Maka spiritualitas dapat disebut
“mengikuti jejak Kristus”. Hubungan Yesus Kristus dengan Bapa-Nya dan aneka
perwujudannya dalam sikap perbuatan-Nya hendaknya menjadi contoh bagi kita.
Hubungan ini sungguh merupakan hubungan yang sangat pribadi. Karena hubungan
dengan Allah bersifat pribadi dan seringkali spontan, maka bentuknya sangat
bervariasi.
Menurut Kitab Suci
Perjanjian Lama
Belajar dari Nabi Yesaya “Ini Aku
Utuslah Aku” (Yesaya 6 : 8)
Pada masa yang kurang lebih bersamaan dengan
masa di mana Hosea melaksanakan tugas kenabiannya kepada kerajaan Israel di
bagian utara – sekitar tahun 740 SM – nabi Yesaya menerima pesan dan
penglihatan yang serupa untuk kerajaan Yehuda di selatan. Selagi dia sujud
menyembah Allah di Bait Suci, Yesaya mendapat penglihatan Allah yang duduk di
atas takhta yang tinggi mulia dan dikelilingi oleh para Serafim yang berseru: “Kudus,
kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes
6:3).
Diliputi oleh kemuliaan
kehadiran Allah, Yesaya menjadi sadar akan ketidakpantasan dirinya dan
ketidakpantasan seluruh Israel di mata-Nya. Ia berseru: “Celakalah aku! aku
binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:5). Kemudian Allah
melakukan atas diri Yesaya apa yang Ia rindukan untuk melakukannya pada setiap
orang. Lewat salah satu dari para Serafim yang mengelilingi-Nya itu Ia
memurnikan diri Yesaya: “Kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah
diampuni” (Yes 6:7). Ketika Allah bertanya: “Siapakah yang akan Kuutus
dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”, maka Yesaya yang sudah dibersihkan
itu mampu untuk menjawab, “Ini Aku, utuslah aku!” (Yes 6:8). Yesaya
begitu dipengaruhi oleh penglihatannya dan oleh pengalamannya diampuni oleh
Tuhan semesta alam, sehingga sepanjang sisa hidupnya dipakai olehnya untuk
bernubuat dan berkhotbah kepada umat, sebagai seorang nabi. Yesaya menjadi
penyambung lidah Allah yang sejati, bukan seorang nabi palsu atau nabi-nabian!
Pengalaman Yesaya ini bukanlah
peristiwa yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang kudus besar dan para nabi.
Allah menginginkan agar kita semua dibersihkan serta dimurnikan, sehingga kita
dapat melaksanakan kehendak-Nya bagi kehidupan kita kususnya sebagai seorang
katekis harus memiliki spiritualitas seperti Nabi Yesaya yang siap diutus.
Di setiap zaman dan di setiap
belahan bumi, Allah mencari orang-orang yang mau menjadi para pelayan-Nya, yang
seperti nabi Yesaya berkata: “Ini aku, utuslah aku!” Allah bersedih hati
melihat keadaan dunia dan Ia sungguh rindu untuk mengumpulkan kita kembali
kepada diri-Nya. Dan Ia ingin menggunakan kita masing-masing sebagai penyambung
lidah-Nya untuk membawakan kabar keselamatan-Nya kepada orang-orang lain.
Seperti Yesaya, kita pun tidak
pantas untuk menjadi pelaksana kehendak Allah. Dengan kekuatan kita sendiri,
berdiri di hadapan hadirat-Nya sekali pun kita tidak akan sanggup. Namun
melalui darah Yesus yang membersihkan kita, Allah mengundang kita untuk datang
dekat kepada-Nya sehingga kita dapat membawa kasih-Nya kepada dunia. Marilah
kita membawa hati kita masing-masing kepada-Nya dan berkata seperti Yesaya:
“Ini aku, utuslah aku!”
Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Paulus dalam
1Kor 2:14 - 3:3
Menekankan akan 'pola pikir rohani'
yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan demikian katekis hendaknya
selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa
setan, manusia lama, dan dunia.
Belajar dari St.
Paulus: Perlunya Kerjasama Rahmat Tuhan dan Upaya
Kateketis
Perlu disadari bahwa penggerak utama karya pewartaan Injil adalah Roh Kudus
sendiri. Hanya oleh rahmat Tuhan seseorang dipanggil menjadi murid Kristus.
“Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik
oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman,”
demikian Sabda Yesus (Yoh 6:44.bdk. 6:65). Dan hanya oleh Roh Kudus seseorang
mampu berkata “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor 12:3).
Maka dalam pewartaannya, Paulus tidak mengandalkan
kata-katanya sendiri, tetapi terlebih mengandalkan kekuatan Roh (1 Tes 1:5).
Sebab dia menyadari bahwa hanya Tuhan yang sanggup membuka pintu untuk
pewartaannya (lih. 2 Kor 2:12 dan Kol 4:3). Secara indah dalam Kis,
dituturkan bagaimana di tempat sembahyang Yahudi di kota Filipi, Tuhan membuka
hati Lidia (Kis 16:14; bdk. Kis 14:27) sehingga ia mendengarkan pewartaan
Paulus dan kemudian memberi diri dibaptis beserta keluarganya. Saat mengalami
tantangan pewartaan dan dalam perjuangan yang berat, Paulus tetap berani
mewartakan Injil semata-mata karena berkat pertolongan Tuhan (1 Tes 2:2). Maka
untuk keberhasilan karya misinya ini, tak segan-segan Paulus meminta umat untuk
turut mendoakannya. “Selanjutnya, saudara-saudara, berdoalah untuk kami, supaya
firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan, sama seperti yang telah terjadi
di antara kamu, dan supaya kami terlepas dari para pengacau dan orang-orang
jahat, sebab bukan semua orang beroleh iman” demikian pintanya(2 Tes
3:1-2; lih. Rom 15:30-32).
Kendati demikian, bukan berarti usaha dari pihak
manusia tidak perlu. Paulus yang dari kecil dididik dalam Taurat dan pernah
menjadi murid Gamaliel (Kis 22:3) memang dipersiapkan untuk menjadi alat
pilihan di tangan Tuhan untuk mewartakan nama-Nya (Lih. Kis 9:15). Maka
penguasaan Paulus akan Kitab Suci memberi andil dalam keberhasilan
pewartaannya, sama seperti Apolos (lih. Kis 18:27-28). Dalam mewartakan Injil
di kota-kota Yunani, Paulus pertama-tama akan mencari rumah ibadat Yahudi
(sinagoga). Sebab di sana dia bisa bertemu dengan orang-orang Yahudi maupun
orang-orang yang takut akan Tuhan, terlebih di sana dia mendapat peluang untuk
memberikan kesaksian tentang Yesus seperti terjadi di Antiokhia Pisidia (Kis
13:14-16) maupun di Tesalonika (Kis 17:2-3). Ketika berada di Filipi dia tidak
menemukan rumah ibadat Yahudi, maka dia dan kawan-kawannya menyusuri sungai,
sebab tempat sembahyang Yahudi pasti tidak jauh dari sungai untuk mengadakan
ritual pembasuhan. Dugaannya tidak meleset (Kis 16:13).
Sementara ketika tiba di Areopagus kota Atena, dia mesti
mencari pintu masuk pewartaan. Saat menemukan adanya mezbah untuk “Allah yang
tidak dikenal” (Kis 17:23), dia pun menjadikannya sebagai pintu masuk pewartaan
Injil. Selanjutnya dengan lantang dia mewartakan bahwa Kristus yang tersalib
itu telah bangkit kembali. Suatu pewartaan yang tidak menarik bagi orang-orang
Yunani yang mengharapkan pembebasan jiwa dari penjara badan. Kendati tidak
banyak membawa hasil (Kis 17:34), terobosan katekese kreatifnya ini patut
diapresiasi. Demikian pula aneka kesempatan dipakai oleh Paulus untuk
mewartakan Injil, termasuk saat dihadapkan ke sidang Mahkamah Agama Yahudi (Kis
23:6), di hadapan Raja Herodes Agripa II (Kis 26:24-32), maupun saat menjadi
tahanan rumah di kota Roma (Kis 28:30-31).
Paulus melakukan apa yang kemudian dinasihatkannya
sendiri kepada Titus, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik
waktunya” (Tit 4:2a). Hal yang sama dilakukan oleh jemaat perdana, saat terjadi
penganiayaan di Yerusalem, mereka pun menyebar ke seluruh negeri Palestina.
“Mereka yang tersebar itu menjelajah ke seluruh negeri itu sambil memberitakan
Injil” (Kis 8:2). Demikian pula Petrus dan Yohanes, dalam perjalanan pulang
dari Samaria ke Yerusalem mereka memberitakan Injil dalam banyak kampung di
Samaria (Kis 8:25).
Sebagai pewarta firman, Paulus berusaha menyesuaikan diri
dengan situasi pendengarnya agar dapat memenangkan mereka semua bagi Injil
Tuhan (lih. 1 Kor 9:19-22). Untuk mewartakan Injil ini, Paulus mesti bertekun
dan siap mengalami aneka rintangan dan penderitaan (lih. 2 Kor 11:23-28). Lebih
dari itu, Paulus berusaha menjadi saksi Injil melalui keteladanan hidupnya.
“Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan
kami jangan sampai dicela” (2 Kor 6:3).
Bagaimana pun juga, dalam pewartaan Injil diperlukan
kerja sama rahmat Tuhan dan kerja keras usaha kita. Menarik bahwa Gereja
memiliki dua pelindung karya misi, yakni St. Fransiskus Xaverius yang gigih
mewartakan Injil ke mana-mana dan St. Theresia Lisieux, seorang biarawati
kontemplatif yang banyak berdoa untuk para misionaris. Sebagai katekis, upaya
memperdalam sumber-sumber iman dan aneka metodenya memang penting, namun juga
harus disertai dengan doa yang mendalam.
Dalam Pandangan
Gereja
Spiritualitas dalam pandangan Gereja
Berarti corak hidup manusia yang
digerakkan oleh Roh Allah. Manusia membangun hidupnya yang berhadapan dengan
pengalaman akan Allah. Pengalaman manusia menyangkut hidup seluruhnya dan
berarti, termasuk terbuka pada Allah, dirinya sendiri, sesama dan dunia
sekitar. Memberi arti kepada hidup berarti membangun pengharapan akan kualitas
hidup kristiani dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai pedoman dan pola hidup
(bdk. Ibr 11:1) Sejatinya, spiritualitas
katekis adalah hidup dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui
katekis terus-menerus dalam identitas khusus, dalam panggilan dan tugas
perutusannya. Dengan bantuan dan pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis
mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian
hidup.
Katekis adalah misionaris.
Paus Yohanes Paulus II berkata, “Misionaris sejati adalah santo” (Redemptoris
Missio 90 [RM 90]). Sama seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus
di dalam hidup mereka, katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam
hidupnya. Itu berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya melalui ucapan kata
saja, melainkan juga melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian
seorang katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah
katekismus.
Bunda Maria adalah teladan
iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri
penyelamatan. Sikap yang demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang
katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka.
Oleh sebab itu, spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri: terbuka terhadap
sabda Tuhan, terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik,
bersemangat misioner, dan menaruh hormat dan devosi kepada Bunda Maria.
Katekis menurut
dokumen Gereja:
Catechesi Tradendae (1977): Katekis adalah umat awam yang telah melalui pembentukan/kursus dan
hidup sesuai dengan Injil. Secara ringkasnya, katekis adalah seorang yang telah
diutus oleh Gereja, sesuai dengan keperluan setempat, yang tugasnya adalah
untuk membawa umat untuk lebih mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus.
Redemptoris Missio (1990): Mengambarkan katekis sebagai
“pelayan, saksi, penginjil dan tulang belakang kepada Komuntas Kristiani
terutama bagi Gereja-Gereja yang masih muda.
Guide for catehists (1993): Menyatakan bahwa tugas katekis berkait rapat dalam
tugas-tugas misionaris. Mereka bukan saja komite di dalam mempersiapkan umat
untuk menerima sakramen-sakramen misalnya Pembaptisan, Penguatan, pengakuan dan
Ekaristi, tetapi juga sebagai saksi, dan melibatkan diri dalam mempertahankan
hak-hak asasi manusia, inkulturasi dan dialog.
General Directory for Catehesis (1997): Katekis sebagai guru, pendidik dan saksi Iman.
Kategori Katekis
a.
Katekis penuh
waktu/fulltimer di paroki
b.
Katekis paruh
waktu
c.
Sukarela/Voluntir
Bagian 4
Penutup
Simpulan
Katekis berarti
seorang yang memiliki keunggulan khas karena pengetahuan tentang iman Katolik
yang luas dan mendalam dan kepribadiannya yang bermutu sehingga menjadi
panutan, tuntunan, dan model bagi yang lain. Kehadirannya dipandang sebagai
pelindung, pengayom, pembimbing yang memberikan kesejukan, ketenangan, dan rasa
aman bagi sesama.
Katekis yang berusaha hidup dalam semangat dan kerelaan sebagai hamba,
pasti akan menyadari dirinya sebagai hamba yang tak berguna yakni kesadaran
bahwa Tuhan sebenarnya tidak memerlukan dia dan dia hanyalah seorang pelayan
“yang menyiapkan hati orang” agar mengenal, menerima dan mencintai Yesus
sepanjang hidupnya. Hanya dengan hidup sebagai hamba, kita dapat menyampaikan
misteri Agung Allah melalui kata-kata dan tindakan yang sederhana namun
bersifat illahi.
Seperti Yesaya, kita pun tidak pantas untuk menjadi pelaksana kehendak
Allah. Dengan kekuatan kita sendiri, berdiri di hadapan hadirat-Nya sekali pun
kita tidak akan sanggup. Namun melalui darah Yesus yang membersihkan kita,
Allah mengundang kita untuk datang dekat kepada-Nya sehingga kita dapat membawa
kasih-Nya kepada dunia. Marilah kita membawa hati kita masing-masing kepada-Nya
dan berkata seperti Yesaya: “Ini aku, utuslah aku Tuhan!”
Saran
Melalui makalah ini Penulis mengharapkan bagi para pembaca untuk bisa
mengembangkan dan mendalami maksud dari Spiritualitas seorang Katekis, juga
ikut berperan secara aktif di dalamnya. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk dapat mengevaluasi hasil penyusunan makalah ini agar dapat
disempurnakan kembali. Atas kritik dan sarannya penulis sampaikan terima kasih.
Sumber Rujukan
Bagiyowinadi Didik F.X. 2012. Identitas
dan Spiritualitas Katekis. Yokyakarta:Pustaka Nusantara.
Dokumen Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam (Apostolicam
Actuositatem)
Modul Mata Kuliah
Spiritualitas Katekis Semester 5 dan 7 2013.
http://robertusredi.blogspot.com/2009/04/katekis-mari-memahami-arti-posisi.html. Diakses senin 21 Oktober 2013. Pukul 15.00.
Wita
http://komkat.keuskupan-purwokerto.net/index.php? Diakses senin 21 Oktober 2013. Pukul 22.00.
Wita
http://www.imankatolik.or.id/identitas_dan_spiritualitas_seorang_katekis.html Diakses senin 21 Oktober 2013. Pukul 22.15.
Wita
http://sangsabda.wordpress.com/2010/07/10/ini-aku-utuslah-aku Diakses
Minggu 27 Oktober 2013. Pukul 20.00. Wita