Kamis, 02 Maret 2017

Spiritualitas Katekis

Pengantar
Panggilan untuk melayan bagi Tuhan kenapa tidak! Pernyataan ini terbesit dalam benak ketika memikirkan bagaimana memulai tulisan ini sebagai tugas mata kuliah Spiritualitas Katekis. Banyak orang berpikir bahwa menanggapi panggilan hidup untuk menjadi pelayan tuhan secara khusus amatlah tidak mudah, terutama bagi Orang Muda Katolik (OMK). Semakin sedikit OMK yang terpanggil untuk menjadi seorang biarawan biarawati (Pastor, Suster, Frater, dan Bruder). Sehingga mempengaruhi jumlah para biarawan-biarawati, tentu mempengaruhi keterjangkauan pelayanan bagi umat dalam hal iman.
Sembari merenung dan merefleksikan keadaan di atas, patut disyukuri keterbukaan Gereja dengan menyatakan bahwa seluruh anggota Gereja memiliki derajat yang sama, walaupun masing-masing anggota Gereja memiliki fungsi yang khas pula. Kaum awam, yang tidak diperhitungkan keberadaannya pada masa sebelum Konsili Vatikan II, disadari juga sangat membantu perluasan hal yang disebut evangelisasi baru. Dari tengah-tengah kaum awam itu, ada pula yang disebut Katekis. Mereka merupakan sekelompok orang yang mengalami pendidikan khusus perihal iman Katolik, dan tentu saja bertugas mewartakan iman.
Sejatinya, spiritualitas katekis adalah hidup dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui katekis terus-menerus dalam identitas khusus, dalam panggilan dan tugas perutusannya. Dengan bantuan dan pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup, Dengan demikian seorang katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah katekismus. Bunda Maria adalah teladan iman bagi semua orang. Sikap menyerah pada penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Sikap yang demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka. Oleh sebab itu, spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri yang terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, serta bersemangat misioner. “Maka menjadi seorang katekis adalah pilihan dan panggilan hidupku”.

Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan
Keuskupan Agung Samarinda

a.n Mahasiswa
Lorensius Amon

©Revisi
Bina Insan, Februari 2017


Bagian 1

Pendahuluan


Latar Belakang
Kehidupan menggereja akan kokoh kuat jika iman umat juga kuat. Iman tidak bertumbuh begitu saja namun dari sabda Allah yang menyentuh setiap pribadi, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Maka Paulus juga mengatakan: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan injil!”. Karena itulah, maka katekese menjadi bagian penting dan utama dari karya Gereja di tengah dunia. Hal ini juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik, Kan 747-§ 1, “Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih mendalam, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas dan hak asli untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa.

Gereja merupakan Umat Allah yang saat ini sedang berziarah menuju kebahagiaan abadi bersama Allah. Setiap anggota Gereja memiliki peranan masing-masing dalam kehidupannya. Namun secara sederhana bahwa mereka merupakan umat yang dipanggil oleh Allah. Panggilan mereka berdasar pada sakramen permandian dan penguatan yang diterimanya. Dengan hal ini mereka dipanggil dan diutus untuk memberitakan Kabar Keselamatan kepada semua orang. Yesus merupakan teladan bagi kita semua. Selama kehidupan-Nya, Yesus telah mewartakan Karya Keselamatan. Yesus juga memberi perutusan kepada kita untuk mewartakan Injil kepada semua orang sebelum kenaikan-Nya ke surga. Perutusan inilah yang kemudian terus dihidupi oleh Gereja sebagai penerus karya keselamatan dari Yesus.

Perintah yang diberikan oleh Yesus membuat Gereja semakin menggiatkan dirinya untuk memberitakan Karya Keselamatan. Secara langsung perutusan ini diterima oleh semua anggota Gereja, pada intinya mengajak semua anggota Gereja untuk terlibat aktif dalam mewartakan Kerajaan Allah, yang secara khusus diberikan kepada kaum awam.
Juga Pada dasarnya, katekese merupakan suatu tindakan eklesial. Subyek katekese yang benar adalah Gereja. Gereja adalah seluruh umat beriman. Maka, katekese merupakan tugas seluruh umat beriman. Penanggung jawab utamanya adalah Uskup sebagai gembala di Keuskupannya, bahkan pewartaan adalah tugas utamanya. Para imam ambil bagian dan membantu uskup dalam melaksanakan tugasnya itu. Dan karena rahmat baptisan yang mengaruniakan tri-tugas Kristus (memimpin, menguduskan dan mewartakan), maka kaum awam pun ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan katekese.
Dalam keterlibatan ini, para katekis merupakan salah satu aktor penting dalam karya katekese. Memang, setiap orang beriman bertanggung jawab atas tugas pewartaan. Namun secara konkret patut diakui bahwa dalam tangan para katekislah proses katekese dilaksanakan. Oleh karena itu, diperlukan katekis-katekis yang handal yang tidak hanya memahami isi iman Kristiani, tetapi juga mampu mengembangkan pola-pola yang katekese yang tepat sehingga isi pewartaan sungguh sampai pada umat dan menggerakkan umat untuk hidup seturut nilai-nilai Injil. Untuk itu, perlu selalu ada pembinaan berkelanjutan bagi para katekis. Dalam pelaksanaan tugasnya, perlu juga jalinan kerja sama para katekis dengan hirarki (pastor paroki) dan segenap umat beriman.



Bagian 2
Spiritualitas Seorang Katekis


A.       Spiritualitas Seorang Katekis
Spiritualitas seorang katekis bersumber pada katekis ulung dan sejati kita yakni Yesus Kristus. Dalam Guru sejati, sang gembala agung yang mengajar dengan sempurna baik perkataan maupun perbuatan kepada umat-Nya.

Kesetiaan Terhadap Sabda Allah
Kristus menyerahkan diri kepada para rasul (Gereja) misi untuk mewartakan Kabar Baik kepada semua bangsa. Pewartaan kabar baik kepada semua bangsa dengan menyalurkan iman, menyingkapkan dan mengalami panggilan kristiani. Supaya pelayanan Sabda sungguh kena sasaran, katekis hendaknya menyadari konteks kehidupan umat dan kesaksian hidupnya.
Hendaklah katekis memperhatikan pewartaan eksplisit misteri Kristus kepada umat beriman, kepada mereka yang tidak percaya dan bukan kristiani. Kesadaran mutlak perlu bertumpu pada Sabda Allah dan tetap setia terhadap Sabda Allah, tradisi Gereja untuk menjadi murid-murid Kristus yang sejati dan mengenal kebenaran (bdk. Yoh 8:31-32).

Sabda dan Kehidupan
Kesadaran akan misinya sendiri untuk mewartakan Injil selalu harus diungkapkan secara konkret dalam hidup berpastoral bagi seorang katekis. Pelbagai situasi kehidupan berparoki sebagai tempat pelayanan dilaksanakan akan hidup dalam terang Sabda Allah. Semangat hidup itu didorong oleh Rasul Paulus yang berseru: “Celakalah aku kalau tidak mewartakan Injil” (1Kor 9:16), para katekis hendaknya tahu bagaimana memanfaatkan seluruh sarana dan media komunikasi untuk mewartakan Sabda Allah. Pewartaan Sabda Allah begitu mendesak karena masih begitu banyak orang belum mengenal Kristus. Hal itu mencerminkan seruan Paulus: “Bagaimana mereka dapat percaya akan Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? (Rom 10:4).

Sabda dan Katekese
Katekese memainkan peranan penting sekali dalam misi pewartaan Injil, upaya yang utama unutk mengajarkan dan mengembangkan iman (bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik; “Catechesi Trandendae” tgl. 16 Oktober 1979, AAS, 71, 1979). Para katekis termasuk di dalamnya Imam (katekis) rekan kerja uskup hendaknya berkoordinasi dan membimbing kegiatan katekese jemaat yang dipercayakan kepadanya.

B.       Aplikasi Bagi Seorang Katekis Setelah Menimba Spiritualitas Katekis
Setelah mengetahui tentang tugas dan peran awam dalam merasul, terutama seorang katekis. Pertama mengenai tantangan yang harus dihadapi oleh katekis dalam tugas pewartaannya. Memang benar bahwa zaman yang semakin maju ini membuat peran katekis semakin diharapkan. Tantangan dari luar itu membuat katekis harus selalu berpikir tentang metode yang harus dilakukan dalam katekesenya. Katekis juga harus semakin jeli dalam melihat subjek yang akan dilayani, agar apa yang diberikan dapat sungguh-sungguh mengena dan dapat diterima. Katekis juga harus tanggap dengan kondisi di lingkungannya, dan mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi. Mengingat tantangan yang harus dihadapi begitu besar maka katekis juga harus cakap dalam pengetahuan, terutama bidang-bidang pengajaran agar apa yang akan diajarkan tidak menimbulkan kesesatan.

Berpartisipasi dalam kehidupan Menggereja
Kita terpanggil untuk hidup beribdah bersama serta menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Tidak boleh dilupakan adalah sikap ketaatan kepada Gereja, artinya ketaatan kepada imam/gembala, dengan semangat iman, seperti yang ditunjukkan oleh Kristus yang, “mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba… dan taat sampai mati (lih. Flp 2:7-8;lih. Ibr 5:8; Rm 5:19). Ketaatan diikuti oleh tanggung jawab, sebab katekis dalam pelayanan dipanggil untuk menanggapi rahmat Roh Kudus yang mempersatukan. Maka kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain di berbagai tingkatan, dalam kesatuan, adalah sangat penting.

Berpartisipasi dalam kehidupan Masyarakat
Seorang katekis tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, seorang katekis harus hidup bersama dengan orang lain, khususnya dalam lingkup masyarakat. Seorang katekis harus dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat serta mampu menjadi teladan dan saksi Kristus bagi sesama.

Setia pada panggilanku
Panggilan sebagai seorang katekis adalah panggilan dari Roh Kudus yang kita terima dalam sakramen Baptis dan Krisma. Atas panggilan ini umat beriman dapat terpanggil untuk turut membangun Gereja dan melibatkan diri dalam kegiatan misi. Karya para katekis melibatkan keseluruhan diri. Sebelum  mengajarkan Sabda Allah, harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Kebenaran hidup meneguhkan pesan yang diajarkan. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika katekis tidak melaksanakan dan mewartakan Tuhan yang diketahui secara teoritis, panggilannya.

Menjadi mudir Kristus yang sejati
Paus Yohanes Paulus dalam surat Ensikliknya, Redemptoris Missio, menyebutkan bahwa “para katekis adalah “para pekerja yang khusus, para saksi iman yang langsung, para evangelis yang tak tergantikan, yang mewakili kekuatan dasar komunitas Kristiani” Kitab Hukum Kanonik menyebutkan bahwa para katekis adalah “anggota umat beriman yang telah menerima formasi yang layak, dan teladan dalam hal menghidupi kehidupan Kristiani. Di bawah arahan para misionaris, mereka menghadirkan Injil dan terlibat dalam penyembahan liturgi dan karya belas kasih.



Menjiwai spiritualitas katekis
Para katekis diharapkan juga untuk mempunyai semangat misioner untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Dengan demikian mereka menjadi perpanjangan tangan Kristus yang berkehendak menjangkau mereka ke dalam kawanan domba-Nya (lih. Yoh 10:16); dan dengan demikian melaksanakan kehendak Yesus agar Injil diwartakan kepada segenap makhluk (lih. Mrk 16:15). Para katekis diundang untuk mempunyai semangat seperti Rasul Petrus dan Paulus, yang tak dapat berbuat lain kecuali mewartakan Kristus (lih. Kis 4:20), sebab “kasih-Nya menguasai kami” (2 Kor 5:14). Maka para katekis harus mempunyai semangat misionaris yang tinggi, yaitu semangat yang lebih efektif jika mereka yakin tentang apa yang mereka wartakan, mereka antusias dan berani, tanpa malu mewartakan Injil (lih. Rm 1:16). Sebab dari pengenalan akan Kristus muncullah hasrat untuk mewartakan Dia, agar semakin banyak orang menerima Kristus dan mengimani-Nya.
Para katekis dipanggil untuk menjadi gembala yang mencari dombanya yang sesat sampai menemukannya (lih. Luk 15:4), atau seorang wanita yang mencari koinnya yang hilang sampai menemukannya kembali (Luk 15:8). Atau seperti Rasul Paulus, mau mengusahakan berbagai cara untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus (lih. 1Kor 9:22-23; 2Kor 12:15), dan menganggap bahwa pewartaan Injil merupakan suatu keharusan (lih. 2Kor 9:16).



Bagian 3
Uraian tentang Spiritulitas Seorang Katekis

A.            Apa Sebenarnya Spiritualitas Seorang Katekis
Spiritualitas Katekis berdasarkan pada iman akan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Katekis perlu terbuka terhadap Sabda Tuhan, mempunyai keutuhan dan keaslian hidup, bersemangat missioner dan berdevosi kepada Bunda Maria.

Yesus Kristus
Hidup, tindakan dan karya Yesus Kristus menjadi contoh untuk seorang katekis. Yesus juga bisa disebut sebagai katekis karena telah mengajar orang banyak dan para murid menyebut-Nya sebagai guru. Hendaknya spiritualitas Yesus Kristus menjadi gaya hidup seorang katekis. Pertama seorang katekis sebelum mewartakan kerajaan Allah harus mengenal Yesus secara pribadi dan mendalam, karena pewartaan seorang katekis adalah Yesus itu sendiri. Kedua seorang katekis dalam tugasnya harus mencontoh karekter Yesus dalam mewartakan kerajaan Allah seperti melayani dan mengasihi. Intinya belajar dari hidup Yesus Kristus.

Hidup dalam Roh Kudus
Yesus  wafat di kayu salib dan bangkit dari kematian bersama dengan Allah di surga mengutus Roh Kudus untuk tinggal dan diam dalam diri para murid.  Para murid melanjutkan tugas perutusan Yesus untuk mewartakan kabar baik dibantu oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri. Oleh sebab itu,  seorang katekis yang mewartakan kabar baik hendaknya mempunyai kekuatan dari Roh Kudus.
Seorang katekis harus hidup dalam Roh Kudus yang akan membantunya memperkembangkan dan memperbaharui diri secara terus-menerus dalam panggilan dan tugas perutusannya sebagai katekis. Dengan bantuan dari Roh Kudus, seorang katekis akan mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup (Komkat KWI, 1997: 22).

Terbuka terhadap Sabda Tuhan
Keterbukaan terhadap Sabda Tuhan berarti terbuka terhadap Tuhan, Gereja dan dunia. Terbuka terhadap Tuhan berarti seorang katekis membuka hati, menerima sabda Tuhan dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas katekis berakar dari Sabda Tuhan dengan suatu dimensi Tritunggal; Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Keterbukaan terhadap Gereja berarti mencintai, mengabdi, melayani, mengembangkan bahkan bersedia menderita demi Gereja. Keterbukaan ini terungkap dalam keterikatan dan ketaatan terhadap Paus, pusat persatuan dan persekutuan universal. Sedangkan keterbukaan terhadap dunia adalah peka terhadap kebutuhan dunia, terlibat dalam kehidupan masyarakat, terbuka terhadap perkembangan jaman, teknologi dan komunikasi (Komkat KWI, 1997: 23-25).

Keutuhan dan Keaslian Hidup
Seorang katekis sebelum mewartakan sabda harus menjadikan dan menghayati sabda itu sebagai miliknya. Apa yang diajarkan oleh katekis bukan semata-mata ilmu atau teori belaka melainkan iman yang dihidupinya dan dipraktekkan secara nyata dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan keutuhan dan keaslian hidup. Seorang katekis hidup dalam doa, peka terhadap pengalaman akan Tuhan, setia terhadap tindakan Roh kudus dan  keteraturan antara batin-lahir (Komkat KWI, 1997: 26).

 Semangat Missioner
Seorang katekis dalam tugas perutusan-Nya mewartakan kerajaan Allah dan Injil (Mrk 16:15) serta membimbing dan menuntun sesamanya agar mengenal Injil tersebut. Seorang katekis harus mempunyai semangat kerasulan yang tinggi berani dan semangat mewartakan Injil walaupun resikonya ditolak dan tidak didengarkan. Walaupun demikian seorang katekis mempunyai keyakinan bahwa Kristus yang diwartakan selalu menyertainya. Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci pekerja sedikit dan tuaian banyak, katekis menjalankan tugas Allahlah yang bertanggungjawab atas hasil yang dijalankan pekerja-Nya (Komkat KWI, 1997: 27-28).

Bunda Maria
Bunda Maria adalah teladan iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan Ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Seperti yang terdapat dalam Lukas 1:38 "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Sikap seperti Maria itulah  yang hendaknya merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka.
Spiritualitas katekis yang terlibat dalam tugas kerasulan akan diperkaya bila berdevosi kepada Bunda Maria. Bunda Maria adalah seorang yang hidupnya suci, tulus, sederhana dan pasrah kepada Allah. Bunda Maria adalah ibu dari Yesus Kristus yang diwartakan oleh seorang katekis. Dalam perjalanan di kayu salib Bunda Maria setia menemani Yesus, Bunda Maria pula yang menguatkan Yesus (Komkat KWI,1997: 29).

Spiritualitas Kemuridan, Spiritualitas Keterpanggilan.
Spiritualitas katekis harus bersumber  pada spiritualitas kemuridan Yesus Kristus, yang mewartakan Kerajaan Allah. Dengan kata lain, spiritualitas kedekatan dan keterlibatan kepada Allah dan keselamatan manusia. Ciri-ciri spiritualitas kemuridan dan keterpanggilan seperti yang dilukiskan dalam Kitab Suci antara lain:
·           Mengikuti panggilan Yesus, datang kepada Dia yang memanggil untuk tinggal bersama Dia (Yoh. 1:39), belajar dari Dia dan berubah menjadi seperti Dia.
·           Meninggalkan banyak hal (mungkin orang-orang kesayangan, tempat, peluang, kesenangan) supaya utuh mengikuti Dia (1Raj 19:19-21; Mrk 1:16-20).
·           Siap diutus untuk mewartakan kabar baik Kerajaan Allah.
·           Menyadari dan menerima salib (tantangan dan penderitaan) sebagai bagian dari hidup seorang murid.

Katekis Adalah Murid Yesus Kristus, Guru Dan Tuhan
Semua orang yang telah menerima sakramen baptis berjumpa dengan Tuhan menurut karunia dan kedudukannya di tengah umat. Demikian pula seorang katekis berjumpa dengan Yesus sebagai Guru dan Tuhan melalui panggilan dan pelayanannya. Kitab Suci menulis bahwa para murid Yesus biasanya memanggil Dia Rabbi = Guru (Mrk 9:5; 11:21; Yoh 1:49; 8:2; 4:31). (Istilah “Guru” di sini mempunyai arti yang lebih dalam dan agung daripada istilah guru yang biasa kita pakai sehari-hari). Sebutan atau panggilan tersebut harus diartikan sebagai kata yang menunjukkan rasa kekeluargaan yang akrab, rasa persatuan dan kerelaan yang melayani sesama.
Yesus bukan hanya dapat dipercayai sebagai Guru, akan tetapi juga Tuhan yang mahatahu. Kita semua harus mempunyai gambaran yang tepat tentang Yesus sebagai guru itu. Para murid-Nya bukan memandang Yesus dari Nazareth itu hanya sebagai GURU tetapi juga sebagai “Seorang yang datang atas nama Bapa di surga, yang memanggil mereka untuk hidup seperti Dia sendiri (Yoh 1:39) dan mengikuti-Nya (Mat 4:20; 8:10)”. Hubungan dengan Kristus adalah sumber pengembangan hidup rohani seorang katekis sebab ia dipanggil dan diutus sebagai murid dan rasul Yesus sekaligus sebagai pendengar Sabda, pewarta Sabda dan Pengikut Yesus.

Yesus adalah Guru yang Memanggil
Seperti semua murid Yesus, seorang katekis dipanggil oleh Guru. Ini merupakan karunia dan rahmat Roh Kudus. Panggilan ini menjadi nyata sejak dalam baptis Sakramen Krisma dan Sakramen Perkawinan dan secara resmi pada waktu diutus oleh Gembala umat (missio canonica) untuk berjuang bagi Gereja. Melalui panggilannya seorang katekis menerima rahmat yang dibutuhkan untuk melayani umat, karena itu ia perlu senantiasa menyadari bahwa ia dipanggil bukan karena jasa atau karena sifat-sifatnya yang baik, tetapi karena Yesus mau dan secara bebas memilih dan mengutusnya. Pilihan inilah yang merupakan karunia dan rahmat, sumber persatuan dengan Bapa di surga.
Pilihan itu merupakan panggilan secara bebas, dapat kita temui dalam Injil dan dalam cara Yesus memanggil murid-muridNya. Sebagai Rabbi atau Guru, Yesus tidak menunggu siapa yang mengikuti Dia, akan tetapi memanggil mereka satu demi satu; sebab bagi Yesus memilih dan memanggil berarti memberikan karunia persatuan dengan Diri-Nya sendiri, dengan Sabda-Nya, dengan Hati-Nya dan dengan Rahmat-Nya. Oleh karena itu seorang katekis yang menjawab panggilan Yesus berarti mengenal Guru-Nya, mengikuti Dia, dan menerima Dia sebagai pusat hidup untuk melayani Sabda-Nya dan untuk menyampaikan Cinta-Nya kepada Bapa dan sesama. Hidup rohani seorang katekis bersumber dari kesadaran bahwa panggilan dari Kristus sendiri merupakan karunia dan rahmat yang membuat dia menjadi pelayan Sabda.
Setiap kali seorang katekis berkumpul bersama-sama dengan saudaranya seiman, pertemuan atau kebersamaan itu merupakan kesempatan yang menggugahnya agar:
·      Ia semakin merasakan bahwa tiap kali ia dipanggil oleh Yesus untuk melaayani sesamanya;
·      Ia semakin menyadari kepercayaan yang diberikan Yesus kepadanya;
·      Ia menyadari bahwa rahmat Tuhan dan karunia Roh Kudus yang diterimanya adalah suatu tanggung jawab daripada perutusannya sehingga karenanya ia selalu merasa ‘berhutang’ kepada Roh yang mengutusnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang pelayan Sabda (katekis) perlu memperhatikan bukan hanya apa yang harus dibuatnya tetapi juga bagaimana membina hubungan yang erat dengan Guru dan Tuhan sebagai Pusat Hidup dan pelayanannya.

Katekis adalah Murid Yesus
Menerima panggilan sebagai katekis berarti menjadi murid Yesus, sebab ia harus mengikuti Yesus dan hidup bersama Dia. Sebab tiap katekis yang menanggapi panggilannya sebagai rahmat dan karunia dari Tuhan kemudian menerimanya secara pasrah dan setia kepada Roh-Nya, akan sanggup menjadikan panggilannya itu sebagai rahmat bagi sesamanya. “Menjadi murid” adalah peran daripada semua orang yang telah menerima Permandian, tetapi pada seorang katekis, peran ini lebih nyata dan lebih nyata, karena hubungannya dengan Guru melalui pelayanan Sabda. Kepercayaan sebagai utusan Sabda, menyatakan bahwa:
a)   Seorang katekis mengakui Yesus sebagai satu-satunya Guru yang benar. Dari cara dan gaya hidup serta kegembiraan seorang katekis bukan saja dari bakat atau pengetahuannya  nampak pengakuan dan imannya akan Yesus sebagai satu-satunya Guru yang benar.
b)   Seorang katekis termasuk dalam golongan murid Yesus yang hidup bersama Dia sebagai sahabat melalui doa-doanya, sebab dengan doa ia semakin mengenal Yesus. Hanya orang yang hidup bersatu dengan Yesus, yang telah berjumpa dengan Yesus yang pantas menjadi Pelayan Sabda. Kehidupan di dalam Yesus dan perjumpaan dengan Yesus ini merupakan karunia dan rahmat juga. Yesus sendiri mengatakan bahwa kepada murid-Nya telah diberikan karunia untuk mengetahui Kerajaan Surga (Mat 13:11).
c)   Seorang katekis menampakkan (menyaksikan) Sabda Gurunya serta melanjutkan karya Gurunya dengan pelayanan-pelayanannya. Singkatnya, hidup seperti murid Yesus dan mengikuti Dia berarti berkembang terus-menerus dalam persatuannya dengan Yesus sebagai dasar hidupnya sekaligus memantulkan (menampakkan, menyaksikan) Sabda Yesus dalam seluruh pelayanannya.

Katekis Diutus Sebagai Hamba
Yesus Kristus adalah Guru yang berwibawa dan berkuasa. Kekuasaan itu diterima-Nya dari Bapa-Nya. Hal itu memang mengherankan dan mengagumkan para pendengar-Nya (Mrk 1:27; Luk 4:36). Para murid sangat terharu melihat-Nya dan mengikuti-Nya dalam hal melayani sesama (Mat 10: 24-25). Mereka mendekati dan mengenal serta belajar melayani seperti Yesus. Sebab untuk melayani Sabda dengan sempurna, seorang katekis perlu “mendidik” (menganggap) dirinya sebagai sebagai seorang hamba, yakni memiliki jiwa yang mau melayani.
Seorang katekis adalah seorang hamba Gereja, hamba Yesus dan hamba Allah yang melayani Gurunya dalam kesungguhan dan kerendahan hati ketika menyampaikan Sabda kepada sesamanya. Oleh karenanya, ia tidak menamakan dirinya ‘Guru’ sebab hanya ada satu Guru sedangkan yang lain adalah saudara-saudara (Mat 23: 8). Seorang katekis adalah orang yang senantiasa gembira dalam pewartaan Sabda sebab ia mewartakan Kabar Gembira Keselamatan serta berita gembira Cinta Sang Gurunya. Kegembiraan ini membuat dia tidak lagi menginginkan hal lain, kecuali pewartaan. Kegembiraan inilah yang tidak mengarahkan seluruh usahanya kepada sukses dan kesibukan tetapi pada kerelaan sebagai hamba.
Katekis yang berusaha hidup dalam semangat dan kerelaan sebagai hamba, pasti akan menyadari dirinya sebagai hamba yang tak berguna yakni kesadaran bahwa Tuhan sebenarnya tidak memerlukan dia dan dia hanyalah seorang pelayan “yang menyiapkan hati orang” agar mengenal, menerima dan mencintai Yesus sepanjang hidupnya. Hanya dengan hidup sebagai hamba, kita dapat menyampaikan misteri Agung Allah melalui kata-kata dan tindakan yang sederhana namun bersifat illahi. Hamba yang sesudah melaksanakan semua yang diwajibkan kepadanya berani mengatakan bahwa ia adalah hamba yang tak berharga, yang hanya melaksanakan kewajibannya (Luk 17: 10).

Pelayan untuk Perkembangan Kerajaan Allah
Dorongan untuk pergi menyampaikan Kabar Gembira, lahir karena hidup yang bersatu dengan Yesus dan menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan. Murid-murid Yesus telah diutus untuk memaklumkan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan sudah ada, yaitu di dalam hati si pewarta dan para pendengar (Luk 9: 3).
Seorang katekis harus memaklumkan dan menyaksikan pengalaman persatuan dengan Gurunya (suasana Kerajaan Allah) mulai dari diri dan hidupnya sendiri. Ajaran-ajarannya hendaknya merupakan kebenaran-kebenaran  yang dialami dan dihayatinya sendiri sehingga mampu mendorong pendengarnya untuk menyadari kehadiran Tuhan yang bangkit, hidup dan berkarya dalam hidup mereka sehari-hari. Dengan cara-cara inilah para katekis melayani Kerajaan Allah secara sungguh-sungguh serta memperbanyak para pengikut-Nya yakni mereka yang memilih Tuhan sebagai Gurunya.
               
Pemikiran-pemikiran di atas ini sangat menggarisbawahi tugas utama perutusan seorang katekis, yakni untuk:
a.    membuat segala bangsa menjadi murid-Nya (Mat 28: 19-20);
b.    mewartakan Kerajaan Allah dan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Yesus (Mat 28:19-20);
c.    menyampaikan Kabar gembira lebih-lebih kepada orang-orang kecil, bukan saja kepada yang berilmu atau pandai (Mat 11: 25-26). Singkatnya, keseluruhan hidup dan pelayanan seorang katekis adalah kesempatan untuk terus-menerus menyadari dan membarui pribadinya sebagai murid dan hamba yang mengenal, mengakui dan bersatu dengan Yesus sebagai Guru, Tuhan serta Sumber atau Pusat hidupnya.

B.            Hubungan Seorang Katekis dengan Sabda
Katekis adalah Gema Guru yang Berbicara
Sebagaimana gema adalah suara yang sampai kepada kita meskipun sumber suara itu jauh, demikian halnya dengan Sabda Tuhan; sebab selain pengetahuan, kejadian, pengalaman tokoh-tokoh Injil dan riwayat Yesus kita juga menerima Kabar/Ajaran Yesus Sang Guru yang disampaikan melalui Roh Kudus. Ini merupakan sesuatu yang penting bagi kita (katekis) sekarang ini karena apabila kita membaca Kitab Suci, kita mendengar Roh Kudus (St. Ambrosius).
Pada waktu membaca Kitab Suci, seorang katekis berjumpa bukan dengan isi, melainkan dengan Tuhan sendiri yang mau berbicara kepadanya, yang memanggilnya dan yang mau mengadakan hubungan yang erat dengannya. Seseorang yang dalam kesadaran demikian membaca Kitab Suci, ia merasa diikutsertakan dalam peristiwa-peristiwa Kitab Suci, sehingga menjadi suatu pengalaman dan pelajaran yang langsung diterimanya dari Sabda. Kemudian pengalaman dan pelajaran itu menjadi Kabar Gembira yang penuh cinta dan harapan, dan dengan demikian lahirlah persatuan hidup dengan Yesus Sang Guru. Suaranya kadang-kadang berupa teguran, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi” (Luk 24: 25); suaranya penuh cinta atau hiburan, “Kepadamu diberikan kurnia untuk mengetahui Kerajaan Surga” (Mat 13: 11).
Hanya seorang katekis yang menerima, mendengar, mendalami dan hidup sesuai dengan Sabda Tuhan yang dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai gema yang mengundang, yang menyaksikan dan yang memanggil sesamanya untuk mengikuti Sang Guru melalui pewartaannya.

Katekis adalah Suara Roh Kudus
Suatu kerasulan yang tidak mendapat titik awalnya dalam Roh Kudus adalah kerasulan yang mandul. Kerasulan yang demikian hanya diperoleh sebagai kurunia Roh Kudus yang masa kini dapat ditemui da dialami dalam pelbagai bentuk maupun cara hidup manusia atau pun situasi konkret. Kitab Suci ditulis dengan perantaraan wahyu Roh Kudus, karena itu harus dibaca dan dimengerti dengan perantaraan Roh Kudus, sehingga kita dapat berjumpa dengan Kristus dalam arti Kitab Suci dengan matanya sendiri tanpa bantuan terang Roh Kudus mempunyai resiko yang besar yakni bahwa penafsirannya akan jauh sekali dari kehendak Tuhan.
Untuk menghindari hal seperti ini, penting sekali seorang katekis menuntun dirinya untuk hidup di dalam Roh Kebenaran yang menyemangati dan membuka hatinya terhadap arti Sabda yang sebenarnya. Ia perlu berdoa terlebih dahulu, sebelum membaca Kitab Suci memohonkan rahmat Roh Kudus, Roh pengetahuan supaya hatinya terbuka, mendengarkan Sabda Tuhan.  Dalam hal ini pengalaman dan doa Salomon merupakan contoh bagi setiap katekis, “Berikanlah kepada hambamu hati yang terbuka untuk mengerti Sabda-Mu” (Raj 3: 9), karena Tuhan membuka hati kita, maka kita dapat memperhatikan apa yang dimaksud dalam Sabda-Nya. “Rahasia Agung Kuasa Tuhan yang membuka mulutku dan hatimu agar saya menyampaikan kebenaran yang telah saya terima dan kamu sekalian mengerti untungnya bagimu dengan menerima kebenaran itu”, kata St. Agustinus.
Pengetahuan tentang latar belakang Kitab Suci, sejarah bangsa terpilih memang membantu seorang katekis untuk mengerti arti/inti dari Kitab Suci, namun yang terpenting ialah keterbukaan hati kepada Roh Kudus. Doa pemazmur, “Bersihkanlah hatiku dan mulutku ya Tuhan, supaya aku bisa mewartakan Sabda-Mu dengan wajar”, kiranya merupakan doa seorang katekis sebelum mewartakan Sabda Tuhan.

Katekis adalah Gema Umat Kristiani
Gema Sabda menjadi benar, yakni utuh, padat dan kaya artinya apabila katekis mendengarkan dan merenungkannya baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dengan umatnya. Roh Kudus selalu berbicara melalui Gereja-Nya, sedangkan perayaan liturgi merupakan saat atau tempat khusus di mana Sabda berbicara kepada Gereja, maka berkumpul bersama-sama dengan semua orang yang mempunyai tanggung jawab pewartaan adalah sangat penting bagi seorang katekis. Selain itu, para katekis yang berkumpul untuk mendengar dan mempelajari Sabda dengan bimbingan Pastor mengungkapkan tanda nyata persatuan Gereja. Dengan saling menyampaikan dan membicarakan arti Sabda, seorang katekis diperkaya dan menerima kurUnia kebenaran yang menolongnya semakin memperkuat imannya.
Dengan membaca Kitab Suci, seseorang akan mengerti cinta kasih Allah tetapi juga semakin memperluas keterbukaan kita kepada Gereja/Umat Allah seluruhnya. Dalam membaca Kitab Suci, seseorang mengalami sendiri kemudian meluas kepada sesama dan akhirnya kelak mempersatukan dan memperkembangkan Gereja/Umat Allah.

Seorang Katekis adalah Gema Doa
Melalui “Sabda”, seorang katekis mengadakan hubungan pribadi yang erat dan nyata sekaligus menggugah bertumbuhnya kecenderungan untuk berdoa dengan Tuhan. Dialog tersebutlah yang memberikan kepadanya kemampuan untuk mengerti inti Sabda. Hal ini dapat dicapai apabila seorang katekis membiasakan diri dengan suasana hening, suka merenungkan rahasia cinta kasih Tuhan, merasa yakin atas terbatasnya kemampuannya, memperkaya diri dengan bacaAn-bacaan rohani, ikut serta dalam penataran/pertemuan/ceramah pendalaman hidup rohani, mengatur acara kerja atau program kerjanya secara jelas dan tetap.
Justru melalui doa dan refleksi-refleksi rohani, seorang katekis tidak takut memohon rahmat Tuhan setelah mengakui kelemahannya sendiri lalu suka bersyukur karena telah mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk mengabdi kepada Sabda-Nya.  Melalui pemeliharaan doa-doa pribadi yang terus menerus, ia akan menimba semangat hidup yang kemudian ditularkannya kepada orang lain. Oleh doa-doanya kepada Roh Kukus, budi dan hatinya diterangi, sehingga ia memperoleh pengertian tentang Sabda. Di dalam doa-doanya, ia menemukan kehendak Tuhan atas dirinya dan atas pelayanannya kepada orang lain. Ia harus selalu memohon kepada Tuhan supaya diberikan petunjuk untuk dapat menyentuh hati manusia, demikian St. Agustinus. Seorang katekis dikatakan berhasil apabila dia memperhatikan doa lebih daripada kepandaian berbicara yang dimilikinya. Dia adalah seorang yang mempunyai semangat berdoa dan bukan semangat berbicara, demikian lebih lanjut dikatakan oleh Santo Agustinus.
Pelayanan seorang katekis adalah saat dan tempat di mana dia menerima kesempatan untuk memperkuat hubungannya dengan Tuhan di mana doa menjadi kegembiraan. Ia dihibur dalam doanya ketika ia mengalami penderitaan karena Sabda ditolak oleh orang yang dilayaninya. Dengan doa ia dikuatkan dan didorong ketika menghadapi kesulitan dan keraguan. Hidup rohaninya menjadi sebuah latihan yang terus menerus mendekatkan dirinya kepada Sabda yang menggembirakan. Semangat dan kebiasaan doanya akan meneguhkan dia ketika ia gelisah dan sulit menemukan kehendak Allah yang harus disampaikan kepada sesamanya. Dengan doa, seorang katekis menerima terang Roh Kudus yang menyanggupkan dia dalam karya pewartaan Sabda Tuhan yang sebenar-benarnya.

C.            Empat Pandangan Tentang Spiritualitas Seorang  Katekis
Menurut Para Ahli
Robert Webber: Spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara surga, dan surgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Menerima panggilan sebagai katekis berarti menjadi murid Yesus, sebab ia harus mengikuti Yesus dan hidup bersama Dia. Sebab tiap katekis yang menanggapi panggilannya sebagai rahmat dan karunia dari Tuhan kemudian menerimanya secara pasrah dan setia kepada Roh-Nya, akan sanggup menjadikan panggilannya itu sebagai rahmat bagi sesamanya. “Menjadi murid” adalah peran daripada semua orang yang telah menerima Permandian, tetapi pada seorang katekis, peran ini lebih nyata dan lebih nyata, karena hubungannya dengan Guru melalui pelayanan Sabda.

Hans Urs Balthasar: Spiritualitas berarti sikap dasar praktis atau eksistensial manusia yang merupakan konsekuensi dari cara bagaimana ia mengerti eksistensi keagamaannya. Dalam eksistensi itu, ia bertindak atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah. Definisi ini menekankan bahwa spiritualitas berkaitan dengan sikap dasar manusia, entah individu entah kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh sistem nilai mutlak agama yang dianut. Dalam perkembangan selanjutnya definisi ini tidak hanya terbatas pada hidup batin, melainkan keseluruhan tingkah laku manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Spiritualitas merangkum apa yang terdapat dalam budi manusia, bagaimana itu dipikirkan dan bentuk pengungkapannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu dilandasi dan berorientasi kepada yang Transenden, yang oleh manusia disadari memanggilnya secara total dan tanpa syarat.
Spiritualitas dalam pandangan Gereja berarti corak hidup manusia yang digerakkan oleh Roh Allah. Manusia membangun hidupnya yang berhadapan dengan pengalaman akan Allah. Pengalaman manusia menyangkut hidup seluruhnya dan berarti, termasuk terbuka pada Allah, dirinya sendiri, sesama dan dunia sekitar. Memberi arti kepada hidup berarti membangun pengharapan akan kualitas hidup krstiani dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai pedoman dan pola hidup (bdk. Ibr 11:1). Maka secara sederhana, Spiritualitas dapat diartikan sebagai:
§   Hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan.
§   Hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus dengan mengembangkan iman, harapan, dan cinta kasih.
§   Usaha mengintegrasikan segala segi kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus Kristus.
§   Pengalaman iman Kristiani dalam situasi konkret.
Setiap definisi itu hanya mau menekankan salah satu dimensi dari pengertian spiritualitas. Sumber dan ukuran spiritualitas manapun adalah kehidupan Yesus Kristus. Maka spiritualitas dapat disebut “mengikuti jejak Kristus”. Hubungan Yesus Kristus dengan Bapa-Nya dan aneka perwujudannya dalam sikap perbuatan-Nya hendaknya menjadi contoh bagi kita. Hubungan ini sungguh merupakan hubungan yang sangat pribadi. Karena hubungan dengan Allah bersifat pribadi dan seringkali spontan, maka bentuknya sangat bervariasi.

Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama
Belajar dari Nabi Yesaya “Ini Aku Utuslah Aku” (Yesaya 6 : 8)
Pada masa yang kurang lebih bersamaan dengan masa di mana Hosea melaksanakan tugas kenabiannya kepada kerajaan Israel di bagian utara – sekitar tahun 740 SM – nabi Yesaya menerima pesan dan penglihatan yang serupa untuk kerajaan Yehuda di selatan. Selagi dia sujud menyembah Allah di Bait Suci, Yesaya mendapat penglihatan Allah yang duduk di atas takhta yang tinggi mulia dan dikelilingi oleh para Serafim yang berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes 6:3).
Diliputi oleh kemuliaan kehadiran Allah,  Yesaya menjadi sadar akan ketidakpantasan dirinya dan ketidakpantasan seluruh Israel di mata-Nya. Ia berseru: “Celakalah aku! aku binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:5). Kemudian Allah melakukan atas diri Yesaya apa yang Ia rindukan untuk melakukannya pada setiap orang. Lewat salah satu dari para Serafim yang mengelilingi-Nya itu Ia memurnikan diri Yesaya: “Kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (Yes 6:7). Ketika Allah bertanya: “Siapakah yang akan Kuutus dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”, maka Yesaya yang sudah dibersihkan itu mampu untuk menjawab, “Ini Aku, utuslah aku!” (Yes 6:8). Yesaya begitu dipengaruhi oleh penglihatannya dan oleh pengalamannya diampuni oleh Tuhan semesta alam, sehingga sepanjang sisa hidupnya dipakai olehnya untuk bernubuat dan berkhotbah kepada umat, sebagai seorang nabi. Yesaya menjadi penyambung lidah Allah yang sejati, bukan seorang nabi palsu atau nabi-nabian!
Pengalaman Yesaya ini bukanlah peristiwa yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang kudus besar dan para nabi. Allah menginginkan agar kita semua dibersihkan serta dimurnikan, sehingga kita dapat melaksanakan kehendak-Nya bagi kehidupan kita kususnya sebagai seorang katekis harus memiliki spiritualitas seperti Nabi Yesaya yang siap diutus.
Di setiap zaman dan di setiap belahan bumi, Allah mencari orang-orang yang mau menjadi para pelayan-Nya, yang seperti nabi Yesaya berkata: “Ini aku, utuslah aku!” Allah bersedih hati melihat keadaan dunia dan Ia sungguh rindu untuk mengumpulkan kita kembali kepada diri-Nya. Dan Ia ingin menggunakan kita masing-masing sebagai penyambung lidah-Nya untuk membawakan kabar keselamatan-Nya kepada orang-orang lain.
Seperti Yesaya, kita pun tidak pantas untuk menjadi pelaksana kehendak Allah. Dengan kekuatan kita sendiri, berdiri di hadapan hadirat-Nya sekali pun kita tidak akan sanggup. Namun melalui darah Yesus yang membersihkan kita, Allah mengundang kita untuk datang dekat kepada-Nya sehingga kita dapat membawa kasih-Nya kepada dunia. Marilah kita membawa hati kita masing-masing kepada-Nya dan berkata seperti Yesaya: “Ini aku, utuslah aku!”

Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Paulus dalam 1Kor 2:14 - 3:3
Menekankan akan 'pola pikir rohani' yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan demikian katekis hendaknya selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia.

Belajar dari St. Paulus:  Perlunya Kerjasama Rahmat Tuhan dan Upaya Kateketis
Perlu disadari bahwa penggerak utama karya pewartaan Injil adalah Roh Kudus sendiri. Hanya oleh rahmat Tuhan seseorang dipanggil menjadi murid Kristus. “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman,” demikian Sabda Yesus (Yoh 6:44.bdk. 6:65). Dan hanya oleh Roh Kudus seseorang mampu berkata “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor 12:3).
Maka dalam pewartaannya, Paulus tidak mengandalkan kata-katanya sendiri, tetapi terlebih mengandalkan kekuatan Roh (1 Tes 1:5). Sebab dia menyadari bahwa hanya Tuhan yang sanggup membuka pintu untuk pewartaannya (lih. 2 Kor 2:12 dan Kol 4:3). Secara indah dalam Kis, dituturkan bagaimana di tempat sembahyang Yahudi di kota Filipi, Tuhan membuka hati Lidia (Kis 16:14; bdk. Kis 14:27) sehingga ia mendengarkan pewartaan Paulus dan kemudian memberi diri dibaptis beserta keluarganya. Saat mengalami tantangan pewartaan dan dalam perjuangan yang berat, Paulus tetap berani mewartakan Injil semata-mata karena berkat pertolongan Tuhan (1 Tes 2:2). Maka untuk keberhasilan karya misinya ini, tak segan-segan Paulus meminta umat untuk turut mendoakannya. “Selanjutnya, saudara-saudara, berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan, sama seperti yang telah terjadi di antara kamu, dan supaya kami terlepas dari para pengacau dan orang-orang jahat, sebab bukan semua orang beroleh iman”  demikian pintanya(2 Tes 3:1-2; lih. Rom 15:30-32).
Kendati demikian,  bukan berarti usaha dari pihak manusia tidak perlu. Paulus yang dari kecil dididik dalam Taurat dan pernah menjadi murid Gamaliel (Kis 22:3) memang dipersiapkan untuk menjadi alat pilihan di tangan Tuhan untuk mewartakan nama-Nya (Lih. Kis 9:15). Maka penguasaan Paulus akan Kitab Suci memberi andil dalam keberhasilan pewartaannya, sama seperti Apolos (lih. Kis 18:27-28). Dalam mewartakan Injil di kota-kota Yunani, Paulus pertama-tama akan mencari rumah ibadat Yahudi (sinagoga). Sebab di sana dia bisa bertemu dengan orang-orang Yahudi maupun orang-orang yang takut akan Tuhan, terlebih di sana dia mendapat peluang untuk memberikan kesaksian tentang Yesus seperti terjadi di Antiokhia Pisidia (Kis 13:14-16) maupun di Tesalonika (Kis 17:2-3). Ketika berada di Filipi dia tidak menemukan rumah ibadat Yahudi, maka dia dan kawan-kawannya menyusuri sungai, sebab tempat sembahyang Yahudi pasti tidak jauh dari sungai untuk mengadakan ritual pembasuhan. Dugaannya tidak meleset (Kis 16:13).
Sementara ketika tiba di Areopagus kota Atena, dia mesti mencari pintu masuk pewartaan. Saat menemukan adanya mezbah untuk “Allah yang tidak dikenal” (Kis 17:23), dia pun menjadikannya sebagai pintu masuk pewartaan Injil. Selanjutnya dengan lantang dia mewartakan bahwa Kristus yang tersalib itu telah bangkit kembali. Suatu pewartaan yang tidak menarik bagi orang-orang Yunani yang mengharapkan pembebasan jiwa dari penjara badan. Kendati tidak banyak membawa hasil (Kis 17:34), terobosan katekese kreatifnya ini patut diapresiasi. Demikian pula aneka kesempatan dipakai oleh Paulus untuk mewartakan Injil, termasuk saat dihadapkan ke sidang Mahkamah Agama Yahudi (Kis 23:6), di hadapan Raja Herodes Agripa II (Kis 26:24-32), maupun saat menjadi tahanan rumah di kota Roma (Kis 28:30-31).
Paulus melakukan apa yang kemudian dinasihatkannya sendiri kepada Titus, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya” (Tit 4:2a). Hal yang sama dilakukan oleh jemaat perdana, saat terjadi penganiayaan di Yerusalem, mereka pun menyebar ke seluruh negeri Palestina. “Mereka yang tersebar itu menjelajah ke seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8:2). Demikian pula Petrus dan Yohanes, dalam perjalanan pulang dari Samaria ke Yerusalem mereka memberitakan Injil dalam banyak kampung di Samaria (Kis 8:25).
Sebagai pewarta firman, Paulus berusaha menyesuaikan diri dengan situasi pendengarnya agar dapat memenangkan mereka semua bagi Injil Tuhan (lih. 1 Kor 9:19-22). Untuk mewartakan Injil ini, Paulus mesti bertekun dan siap mengalami aneka rintangan dan penderitaan (lih. 2 Kor 11:23-28). Lebih dari itu, Paulus berusaha menjadi saksi Injil melalui keteladanan hidupnya. “Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela” (2 Kor 6:3).
Bagaimana pun juga, dalam pewartaan Injil diperlukan kerja sama rahmat Tuhan dan kerja keras usaha kita. Menarik bahwa Gereja memiliki dua pelindung karya misi, yakni St. Fransiskus Xaverius yang gigih mewartakan Injil ke mana-mana dan St. Theresia Lisieux, seorang biarawati kontemplatif yang banyak berdoa untuk para misionaris. Sebagai katekis, upaya memperdalam sumber-sumber iman dan aneka metodenya memang penting, namun juga harus disertai dengan doa yang mendalam.


Dalam Pandangan Gereja
Spiritualitas dalam pandangan Gereja
Berarti corak hidup manusia yang digerakkan oleh Roh Allah. Manusia membangun hidupnya yang berhadapan dengan pengalaman akan Allah. Pengalaman manusia menyangkut hidup seluruhnya dan berarti, termasuk terbuka pada Allah, dirinya sendiri, sesama dan dunia sekitar. Memberi arti kepada hidup berarti membangun pengharapan akan kualitas hidup kristiani dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai pedoman dan pola hidup (bdk. Ibr 11:1) Sejatinya, spiritualitas katekis adalah hidup dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui katekis terus-menerus dalam identitas khusus, dalam panggilan dan tugas perutusannya. Dengan bantuan dan pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup.
Katekis adalah misionaris. Paus Yohanes Paulus II berkata, “Misionaris sejati adalah santo” (Redemptoris Missio 90 [RM 90]). Sama seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidup mereka, katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidupnya. Itu berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya melalui ucapan kata saja, melainkan juga melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah katekismus.
Bunda Maria adalah teladan iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Sikap yang demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka. Oleh sebab itu, spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri: terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, bersemangat misioner, dan menaruh hormat dan devosi kepada Bunda Maria.

Katekis menurut dokumen Gereja:
Catechesi Tradendae (1977):  Katekis adalah umat awam yang telah melalui pembentukan/kursus dan hidup sesuai dengan Injil. Secara ringkasnya, katekis adalah seorang yang telah diutus oleh Gereja, sesuai dengan keperluan setempat, yang tugasnya adalah untuk membawa umat untuk lebih mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus.

Redemptoris Missio (1990): Mengambarkan katekis sebagai “pelayan, saksi, penginjil dan tulang belakang kepada Komuntas Kristiani terutama bagi Gereja-Gereja yang masih muda.

Guide for catehists (1993): Menyatakan bahwa tugas katekis berkait rapat dalam tugas-tugas misionaris. Mereka bukan saja komite di dalam mempersiapkan umat untuk menerima sakramen-sakramen misalnya Pembaptisan, Penguatan, pengakuan dan Ekaristi, tetapi juga sebagai saksi, dan melibatkan diri dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia, inkulturasi dan dialog.

General Directory for Catehesis (1997): Katekis sebagai guru, pendidik dan saksi Iman.
Kategori Katekis
a.     Katekis penuh waktu/fulltimer di paroki
b.    Katekis paruh waktu
c.     Sukarela/Voluntir

Bagian 4
Penutup

Simpulan
Katekis berarti seorang yang memiliki keunggulan khas karena pengetahuan tentang iman Katolik yang luas dan mendalam dan kepribadiannya yang bermutu sehingga menjadi panutan, tuntunan, dan model bagi yang lain. Kehadirannya dipandang sebagai pelindung, pengayom, pembimbing yang memberikan kesejukan, ketenangan, dan rasa aman bagi sesama.
Katekis yang berusaha hidup dalam semangat dan kerelaan sebagai hamba, pasti akan menyadari dirinya sebagai hamba yang tak berguna yakni kesadaran bahwa Tuhan sebenarnya tidak memerlukan dia dan dia hanyalah seorang pelayan “yang menyiapkan hati orang” agar mengenal, menerima dan mencintai Yesus sepanjang hidupnya. Hanya dengan hidup sebagai hamba, kita dapat menyampaikan misteri Agung Allah melalui kata-kata dan tindakan yang sederhana namun bersifat illahi. 
Seperti Yesaya, kita pun tidak pantas untuk menjadi pelaksana kehendak Allah. Dengan kekuatan kita sendiri, berdiri di hadapan hadirat-Nya sekali pun kita tidak akan sanggup. Namun melalui darah Yesus yang membersihkan kita, Allah mengundang kita untuk datang dekat kepada-Nya sehingga kita dapat membawa kasih-Nya kepada dunia. Marilah kita membawa hati kita masing-masing kepada-Nya dan berkata seperti Yesaya: “Ini aku, utuslah aku Tuhan!”

Saran
Melalui makalah ini Penulis mengharapkan bagi para pembaca untuk bisa mengembangkan dan mendalami maksud dari Spiritualitas seorang Katekis, juga ikut berperan secara aktif di dalamnya. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk dapat mengevaluasi hasil penyusunan makalah ini agar dapat disempurnakan kembali. Atas kritik dan sarannya penulis sampaikan terima kasih.

Sumber Rujukan
Bagiyowinadi Didik F.X. 2012. Identitas dan Spiritualitas Katekis. Yokyakarta:Pustaka Nusantara.
Dokumen Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem)
         Modul Mata Kuliah Spiritualitas Katekis Semester 5 dan 7 2013.
http://komkat.keuskupan-purwokerto.net/index.php? Diakses senin 21 Oktober 2013. Pukul 22.00. Wita
http://sangsabda.wordpress.com/2010/07/10/ini-aku-utuslah-aku Diakses Minggu 27 Oktober 2013. Pukul 20.00. Wita